Rumah untuk Dinda

Reza Lestari
Chapter #4

Zivan marah

“Din,” pangilan itu, membuat kegiatan Dinda yang tengah mengetik di laptop terhenti sejenak, lalu gadis itu mengalihkan pandangannya ke arah pintu kamar. Saat itu juga ia melihat papanya.

 “Ada apa, Pah?” tanyanya.

           Arya––Papa Dinda––berjalan masuk menghampiri anak gadisnya yang duduk di atas kasur. “Kamu lagi apa?” tanyanya, setelah duduk di sisi kasur dan saling berhadapan dengan Dinda.

           “Lagi ngetik.”

           “Tugas?”

           “Bukan, Dinda lagi bikin novel.”

           Arya menautkan sebelah alisnya, baru kali ini ia tahu jika putrinya nulis novel. “Sejak kapan kamu nulis novel?” tanyanya.

           “Baru semingguan, masih nyoba juga,” jawab Dinda sambil tersenyum, yang dibalas dengan anggukan paham papanya.

           “Oh, ya, Din. Kemarin Papa ketemu sama anaknya Tante Bella, bentar Papa punya fotonya,” ujar Arya, lalu mencari foto di galeri ponselnya. Setelah ketemu, ia memperlihatkannya pada Dinda. “Namanya, Sindi. Dia kuliah semester 2, cantik, kan?”

           “Biasa aja,” balas Dinda tak minat. Dalam hati ia sangat kesal, bagaimana tidak. Papanya itu bukan hanya menunjukkan foto gadis bernama Sindi itu sendirian, tapi di foto itu terdapat 3 orang. Papanya, Sindi, dan Tante Bella. Ia merasa seperti yang terlupakan, bahkan dipertemuan itu papanya tidak ada basa-basi mengajaknya.

           “Kamu jangan gitu dong, Sindi cantik, kok. Nggak lama lagi, kan, Papa akan nikah sama Tante Bella. Nanti, kamu panggil Sindi kakak, ya.”

           Hoam ...

           Dinda pura-pura menguap, sungguh ia tak ingin membahas itu.

           “Aku ngantuk, mau tidur.”

           Arya menghela napasnya, Dinda pasti seperti itu jika ia ingin membahas pernikahannya dengan Bella.

           “Papa, aku ngantuk,” ulang Dinda.

           “Ya, udah. Papa keluar.” Dinda menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

           Arya pun bangkit dari duduknya, lalu mencium puncak kepala Dinda sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamar putrinya itu. Sedangkan, Dinda menatap malas layar laptopnya yang sudah menggelap. “Kakak asal dari mananya? Gue anak pertama, dan akan menjadi anak pertama. Nggak mau jadi anak kedua. Nanti, gue diduain. Apalagi, diduain sama anak tiri. Ogah!”

           Dinda sebenarnya tidak setuju jika papanya mau menikah lagi, apalagi dengan Tante-tante bernama Bella itu yang selalu cari perhatian padanya. Tetapi, papanya itu terus saja membujuknya agar setuju, apalagi omanya yang terus mendesaknya.

           “Ya Allah, Dinda bingung harus apa.”

***

Dinda meneguk ludahnya dengan susah payah, saat melihat makanan yang sudah tersaji di hadapannya. Kali ini ia dan Zivan berada di salah satu restoran yang tak jauh dari halte tadi, Zivan yang membawanya ke sana. Karena sejak tadi Dinda tidak berbicara sama sekali, tak berani berbicara saat melihat wajah dingin lelaki itu.

Bahkan, saat sampai di restoran. Zivan hanya memesan makanan, setelah itu diam menatap Dinda tanpa berbicara.

Perutnya sudah tak tahan lagi ingin diisi makan, tapi ia tak berani memakan makanan itu karena Zivan hanya diam saja tidak mengajaknya makan. Buat apa juga lelaki itu pesan makan, tapi malah dibiarkan?

“Gue ada buat salah nggak, sih? Kok, Mas Zivan liatin gue gitu banget, kayak yang lagi marah. Mana nggak ngomong-ngomong lagi. Eh, tapi, Mas Zivan emang irit ngomong. Muka dingin malah tambah dingin sekarang, hujan lagi. Tambah kedinginan aja gue,” batin Dinda, kedua matanya masih menatap makanan, dengan ekspresi wajah nelangsa.

“Kamu jelekin saya apa lagi?” tanya Zivan tiba-tiba.

“Eh, jelekin apa?” tanya Dinda bingung.

“Kamu lagi ngomongin saya, kan, di dalam hati.”

Dinda terkejut, kenapa Zivan bisa menebaknya? Apakah Zivan bisa membaca pikiran orang dan mendengar isi hati orang lain?

“Saya nggak jelekin, Mas Zivan,” elak Dinda, tak ada unsur menjelekkan bukan? Saat ia membatin tadi.

“Terus kenapa nggak makan? Malah diam aja.”

“Saya boleh makan, Mas?” tanyanya dengan raut wajah sumringah.

“Makan aja, tadi saya udah minta waiters-nya buat masukin racun,” balas Zivan, membuat ekspresi wajah Dinda berubah menjadi ngeri.

“Mas Zivan beneran mau bunuh saya?”

“Hm.”

“Kok, Mas Zivan jahat sama saya?”

“Buat apa juga baik sama kamu.”

Dinda mendengus saat mendengar itu, bisa-bisanya Zivan berkata seperti itu. Apa lelaki itu lupa, jika dua bulan lalu takut kehilangannya. Ketika mantan bosnya nge-prank Zivan, bilang kalau Dinda resign dari kantor karena mau nikah. Lelaki itu, ngamuk di ruang kerja Regi—mantan bosnya—terus bilang jika Zivan ingin membatalkan pernikahan Dinda.

“Gue mati beneran, Anda nangis nanti,” gumam Dinda kesal.

“Saya masih bisa dengar, Dinda.”

“Bodo amat.” Setelah mengatakan itu, Dinda menarik piring Tenderloin steak ke dekatnya, lalu ia memakannya. Tak peduli jika steak itu benar dikasih racun, yang penting ia bisa makan dulu sekarang. Perutnya sudah tak kuat menahan lapar lagi.

“Nanti, bayar sendiri,” ujar Zivan, membuat kegiatan Dinda yang tengah memotong steak-nya terhenti, dan menatap Zivan dengan memelas.

“Mas, beneran mau bunuh saya? Tau aja sekarang saya lagi nggak ada uang, terus nyuruh bayar makanan mahal ini. Tau gini, mending saya ke warteg aja,” gerutu Dinda, ia tak melanjutkan makan steak itu.

“Siapa suruh resign. Kamu ngapain, huh, pakek resign beneran dari kantor Regi?”

“Mas Zivan marah, saya resign dari kantor Pak Altar?”

Lihat selengkapnya