4 bulan lalu ...
Dinda turun dari taksi yang ditumpanginya, setelah sampai di depan pagar besi yang menjulang tinggi. Siang ini, ia ada tugas untuk meminta tandatangan bosnya. Dan, karena bosnya itu tak masuk, jadi ia disuruh datang ke rumahnya langsung.
“Tekor, deh, gue naik taksi, argonya mahal amat. Mana uang gue sisa sepuluh ribu, gimana caranya gue balik ke kantor nanti? Minta diganti sama Pak Altar? Malu gue,” ujarnya, lalu menghela napasnya sebelum akhirnya berjalan mendekati pagar besi itu.
“Permisi, Pak,” ucapnya pada Satpam yang berjaga di sana.
Satpam itu membuka pagar, dan berjalan mendekati Dinda. Sebelum akhirnya bertanya, “Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Apa benar ini rumahnya Pak Altarik Regi Syaputra?”
“Oh, iya. Benar, Mbak.”
“Saya sekretarisnya Pak Altar, Pak. Apa beliau ada di rumah?”
“Ada, silahkan masuk, Mbak.”
Dinda menganggukkan kepalanya, setelah mengucapkan terima kasih. Ia pun berjalan melewati perkarangan rumah yang sangat luas itu. Di depan sana, ia melihat rumah yang mewah.
Setelah sampai di depan pintu utama, ia memencet bel. Tetapi, tak kunjung ada yang membuka. Sehingga, dirinya terus menekan bel itu berkali-kali. Hingga tak lama kemudian, barulah ada yang membuka pintu. Saat itu juga ia melihat seorang perempuan cantik, dengan tinggi sepantaran dengannya.
Siapa perempuan itu?
“Maaf, Mbak. Cari siapa, ya?” tanya perempuan itu.
“Ini rumahnya Pak Altarik Regi Syaputra bukan, ya, Mbak?” tanya balik Dinda, kembali bertanya itu. Padahal, tadi sudah mendapatkan jawabannya dari satpam.
“Iya, benar. Mbak siapa, ya?”
“Saya Dinda, Mbak. Sekretarisnya Pak Altar, saya datang ke sini ada perlu sama, Pak Altar.”
“Oh, begitu. Silahkan masuk,” ajak perempuan itu yang langsung dibalas dengan anggukan Dinda.
Setibanya di ruang tamu Dinda di persilahkan duduk, dan ia melihat ada bosnya juga yang tengah duduk sambil nonton berita. Sedangkan, perempuan yang membuka pintu tadi pergi ke dapur.
“Lho, Dinda. Ngapain kamu ke rumah saya?” tanya lelaki itu bingung, sebelumnya Dinda memang tidak memberitahu bosnya bahwa ia akan datang ke rumahnya.
“Ada dokumen yang harus Pak Altar tandatangani, makanya saya datang ke sini buat minta tandatangan, Bapak. Dokumen-dokumen ini harus Bapak sendiri yang tandatangan, nggak bisa diwakilkan,” jawabnya sambil memberikan beberapa dokumen yang dibawanya dari kantor.
Lelaki itu mengambil dokumen-dokumen itu, lalu membacanya untuk memeriksa satu-persatu. Sedangkan, Dinda sekarang meneliti rumah bosnya yang tampak sepi.
“Mbak yang tadi itu siapa, Pak? Adiknya Pak Altar, ya?” tanya Dinda penasaran.
“Bukan,” jawabnya singkat.
“Terus siapanya, Bapak? Sepupu?” tanya lagi Dinda.
“Istri!” Dinda membulatkan kedua matanya saat mendengar jawaban itu.
“Istri, Pak? Kapan Bapak nikahnya? Kok, saya nggak tau? Bukannya Bapak nggak punya pacar, ya? Kok, sekarang udah punya istri aja?” tanyanya bertubi-tubi, sangking kagetnya mendengar jawaban dari bosnya itu.
“Ngapain juga kamu harus tau? Nggak ada sangkut pautnya juga dengan kerjaan kalau saya udah punya istri,” ujar Regi, tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ia baca.
Dinda menghela napasnya, lalu menopang dagu dengan tangannya yang bertumpu pada pahanya. Benar apa kata bosnya itu, tidak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan.
“Patah hati, deh, gue, ternyata Pak Altar udah punya istri. Padahal, gue mau nyalonin jadi pacarnya,” batinnya. Ia akui memang suka pada Regi, itu pun karena lelaki itu sangat baik, di balik sikap dinginnya selama ini.
“Ini diminum, ya, Mbak,” ucap perempuan yang ternyata istri bosnya itu, saat kembali ke ruang tamu, sambil menyimpan segelas jus jeruk di meja.
“Eh, iya. Makasih, Bu,” balas Dinda yang langsung dibalas dengan anggukan. Perempuan itu, langsung duduk di sebelah Regi.
“Istrinya Pak Altar cantik juga, kira-kira itu cantiknya asli apa operasi plastik, ya? Jangan-jangan operasi plastik lagi? Kalau iya di operasi plastik, kira-kira pakek plastik apa, ya?” batin Dinda ngaco, sangking ngaconya ia berpikiran ingin operasi plastik pakai plastik pemutih. Agar kinclong. Mungkin, karena efek perutnya sudah lapar sekarang. Ia jadi ngaco.
“Assalamualaikum,” ucapan salam itu, membuat ketiganya mengalihkan pandangannya ke arah pintu utama. Di sana ia melihat anak kecil bersama seorang lelaki yang tak ia kenal.