Rumah untuk Pulang

Lirin Kartini
Chapter #1

BAB. 1 - JANJI

“… buntut demonstrasi penurunan presiden … gelombang massa mulai tak terkendali … aparat keamanan kewalahan … mereka mulai menjarah toko-toko milik warga ….”

Samar-samar suara pembawa berita dari televisi di ruang tamu, menyusup masuk melalui celah kecil di bawah pintu. Menyampaikan potongan-potongan kalimat yang tidak utuh karena terganggu oleh suara pompa air tetangga sebelah yang bising. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan halaman samping tetangga itu. Dari jendela berkaca riben bisa kulihat si tetangga sedang menyirami halamannya yang tidak terlalu hijau. Agak gersang malahan karena tidak dirawat dan ditumbuhi rerumputan liar.

“Buat apa disiram? Mestinya dia potong dan buang itu tanaman-tanaman liarnya. Gimana sih?” Aku mengomel pelan, lalu kembali pada kegiatanku semula.

Saat itu, aku sedang berada di kamar, mematut-matutkan diri di depan cermin. Berbagai pertimbangan muncul di kepala mengenai pakaian apa yang harus kukenakan untuk janji temu hari ini.

Ketemu pacar? Oh, bukan. Aku belum punya pacar, meski umurku sudah cukup untuk memilikinya. Aku belum berpikir ke arah sana. Selain itu, orang tuaku bisa marah besar jika anak bungsunya ini sudah berani pacaran saat masih memakai seragam putih abu-abu.

“Ya, sudah, pacarannya jangan pakai seragam dong! Pakai baju bebas!” Celetukan seorang teman saat menanyakan perihal pacaran, kembali teringat. Aku jadi senyum-senyum sendiri di depan cermin.

“Bener juga sih. Tapi, coba dia bilang gitu sama Papa, bisa disuruh angkat kaki dari rumah sekarang juga,” gumamku sambil geleng-geleng kepala membayangkannya.

Orang tuaku cukup kolot. Banyak larangan yang kuterima sejak kecil. Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku benar-benar “dijaga”, dalam artian pengawasan mereka terhadapku jauh lebih ketat daripada anak laki-laki. Larangan pacaran itu sudah disampaikan mereka saat aku duduk di bangku SMP.

“Selama masih sekolah, jangan coba-coba pacaran!” kata Papa waktu itu. Aku yang memang belum berminat pacaran, hanya mengangguk dan menyetujuinya tanpa membantah.

Jujur saja, aku masih nyaman sendirian di usiaku yang baru saja menginjak angka tujuh belas. Angka kebebasan bagi remaja. Seperti aku yang bisa bebas ke mana-mana, tanpa harus dicemburuin pacar atau dilarang ini-itu. Melihat beberapa teman yang pergaulannya jadi terbatas karena punya pacar, membuatku semakin yakin dengan pilihanku.

Bukan berarti, aku tidak laku di kalangan teman-teman cowok. Aku cukup laku kok, meski cuma satu-dua orang saja yang pernah kedapatan sedang mengamatiku diam-diam. Mereka terlihat resah dan gelisah. Ditambah tatapan curiga dari semut-semut merah yang berbaris di dinding seperti lirik lagu Kisah Kasih di Sekolah, menguatkan dugaan kalau mereka sedang mencuri-curi pandang padaku.

Bukan hal yang istimewa juga sebenarnya, karena mereka sepertinya tidak punya nyali untuk menyatakan perasaan. Entah karena takut ditolak, atau takut pada Papa yang galak dan tegas. Aku tidak terlalu memikirkan hal itu dan masih berteman dengan mereka seperti biasa. Aku selalu memperlakukan mereka sama seperti teman-teman lainnya tanpa prasangka. Mereka pun tampaknya lebih nyaman dengan kondisi seperti itu daripada harus menghadapi kecanggungan.

Lihat selengkapnya