“Mima!” Cewek berambut pendek bernama Ega langsung memanggil begitu aku turun dari becak. Tidak cuma itu, dia juga terlihat buru-buru mendekat ketika aku yang sedang membayar. Dari gerak tubuhnya, dia seperti tidak sabar untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tanpa menunggu lama, setelah becak itu pergi, Ega segera menarikku menjauh dari jalan.
Ega membawaku masuk melewati gedung kaca bertingkat dua sebuah bank swasta yang mulai ramai. Lalu, sampai di depan pintu ruko yang masih tutup, Ega menatapku. Barulah aku menyadari ekspresi cemas yang tergambar di wajahnya.
“Kamu dibolehin ke sini?” Ega bertanya dengan berbisik. Matanya melotot tanda dia sedang serius.
“Eng ….” Aku ragu menjawabnya.
“Aku juga nggak dibolehin.” Ega mengasumsikan keraguanku itu adalah jawaban yang sama dengannya. Dia lalu melanjutkan masih dengan mata melotot, “Tapi aku kabur aja diem-diem waktu toko lagi rame.”
“Oh.” Hanya itu respons yang kuberikan, mengingat aku juga melakukan hal yang sama.
“Tadi mau telepon kamu dulu, tapi lagi dipakai. Dan nggak yakin juga kamu masih di rumah. Jadinya, aku langsung ke sini aja,” jelas Ega.
Aku mangut-mangut.
“Ya, sudah. Ayo,” ajak Ega setelah mata kami beradu beberapa saat.
Aku dan Ega berjalan pelan sambil mengamati area pertokoan berbentuk huruf U itu. Di sisi kanan dan kiri, berbagai jenis toko baru saja memulai aktivitasnya. Ada toko alat-alat listrik, toko kaset, toko buku dan alat tulis, toko bahan bangunan, juga depot bakwan yang terkenal di kota itu. Di bagian ujung yang merupakan gedung bioskop dengan tiga poster film membentang di dindingnya adalah tujuan kami.
Yah, awalnya begitu sih, tapi kemudian kami berakhir di depot bakwan. Duduk di kursi plastik persegi yang saling berhadapan, aku dan Ega mengobrol sambil menunggu pesanan kami.