Rumah untuk Pulang

Lirin Kartini
Chapter #3

BAB. 3 - TERJEBAK

“Bakar! Bakar! Bakar!”

Kota yang biasanya tenang dan damai mendadak ricuh. Segerombolan massa tak dikenal datang entah dari mana. Mereka berteriak-teriak sambil menerobos masuk ke halaman salah satu gereja tua di kota ini.

Entah apa mau mereka dan tujuannya, tindakan selanjutnya amat tak terduga. Mereka melempari gedung gereja dengan batu-batu yang sepertinya sudah disiapkan dari awal. Kaca-kaca jendela gereja yang berdiri sejak tahun 1825 itu pun pecah dengan bunyi berisik. Batu-batu seukuran lebih besar dari kepalan tangan berjatuhan dan pecahan beling warna-warni berserakan di dalam gereja.

Tak ayal, suasana menjadi panik. Kejar-kejaran pun terjadi antara massa dan pengurus gereja. Teriakan “Bakar! Bakar!” masih saling bersahut-sahutan.

Aku meringkuk ketakutan di sudut belakang tempat ibadah. Bersembunyi di antara tumpukan bangku kayu, berharap mereka tidak menemukanku agar aku bisa segera melarikan diri dari sini.

Panik. Gemetar. Jantung berdegup kencang. Keringat dan air mata bercucuran. Mengintip dari celah kecil bangku kayu, pemandangan di depan mataku sangat menakutkan. Wajah-wajah tak dikenal itu tampak beringas dan murka. Pun bau minyak tanah dari tongkat api yang menyala-nyala di tangan mereka, menusuk hidungku.

Tak berani lagi aku mengangkat kepala atau sekadar mengintip. Aku memilih untuk menutup mata rapat-rapat. Kedua telinga pun aku tekan dengan tangan agar suara-suara tidak menyenangkan itu teredam. Meski begitu, aku masih bisa membayangkan bagaimana kaca-kaca jendela itu pecah, bangku-bangku kayu digulingkan, ditendang, dan dipukul, termasuk hantaman benda berat pada grand piano yang ada di sisi samping ruang ibadah.

Hatiku semakin takut. Pikiranku kalut. Tidak bisa kubayangkan jika tadi aku tidak segera bersembunyi. Mungkin diriku akan bernasib sama dengan piano yang senantiasa mengiringi ibadah rutin di tempat ini.

Di tengah ketakutan itu, aku sampai melupakan keberadaan Ega. Aku kehilangan dirinya saat massa mulai menghambur masuk ke ruang ibadah ini, tempat aku dan Ega berada. Kami yang akhirnya membatalkan acara menonton, memutuskan berjalan-jalan hingga tiba di gereja.

Saat itu Ega sedang memainkan piano dan aku berdiri di sampingnya sambil bernyanyi mengikuti irama. Hanya seperempat alunan lagu yang dimainkan Ega, tiba-tiba terdengar keributan di luar. Arahnya dari halaman gereja. Mendengar teriakan-teriakan yang tidak ramah dan bernada mengancam, aku dan Ega sama-sama panik. Kami pun berlari mencari tempat bersembunyi tepat saat salah satu kaca jendela pecah. Kupikir Ega ada di belakangku. Bersamaku. Ternyata tidak. Aku sendirian di sini dan aku tidak tahu di mana dia.

Kebingungan, aku ingin mencari Ega, tapi tidak bisa. Aku tidak bisa bergerak karena rasa takut yang melanda begitu kuat. Kakiku lemas dan gemetar, hingga akhirnya goyah lalu terduduk di lantai. Meringkukkan tubuh sedalam-dalamnya, serendah-rendahnya agar tidak terlihat oleh sekelompok perusuh itu.

Ya, Tuhan … aku takut …. Tolong aku, Tuhan …. Aku juga nggak tahu Ega di mana …. Tolong kami, Tuhan ….

Lihat selengkapnya