Rumah untuk Pulang

Lirin Kartini
Chapter #4

BAB. 4 - ASING

Rasanya sudah cukup lama aku berlari mengikuti cowok itu dan dia belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aku sudah mulai lelah. Kakiku pegal dan napasku ngos-ngosan.

“Eh … itu ada pintu,” kataku sambil terengah-engah kehabisan napas ketika melihat ada pintu lima meter di depan. Sejenak aku merasa sedikit lega karena pelarian kami akan berakhir.

Harapanku pupus. Cowok itu diam saja dan terus berlari melewati pintu yang aku lihat tadi. Aku menoleh ke belakang, menatap pintu yang seingatku mengarah ke kebun gereja. Atau dapur? Ah, entahlah, aku sendiri tidak yakin karena sekelilingku sekarang tampak berbeda. Aku tidak lagi mengenali tempatku berada.

Lorong ini seperti tidak ada ujungnya. Meski bangunan ini cukup besar dan mampu menampung kurang lebih 1000 jemaat, tapi rasanya tidak sepanjang ini. Seberapa pun besar dan luasnya sebuah gereja atau bangunan lain, pasti akan ada tembok pembatasnya, ‘kan?

Jangan-jangan … aku diculik?!

Panik, aku mencoba melepas genggaman cowok itu. Tapi, dia malah semakin kuat menggenggamnya. Tanganku sampai terasa kebas. Beberapa langkah kemudian dia berhenti. Aku juga ikut berhenti dengan sedikit kaget.

“Sudah sampai,” katanya.

Di depanku ada sebuah pintu yang tertutup. Pintu kusam berwarna cokelat yang penuh dengan berbagai noda dan coretan tidak jelas di permukaannya. Ada beberapa bagian yang sedikit bocel, entah tidak sengaja terkelupas atau sengaja dicongkel dengan tujuan tertentu.

Cowok itu menoleh dan tersenyum padaku. Lembut dan ramah. Tidak nampak sama sekali dia orang jahat atau ingin berbuat jahat.

Hei, Mima! Don’t judge a book by its cover! Wajah dan penampilannya baik, belum tentu niatnya baik!

Otakku buru-buru mencetuskan sebuah pepatah yang otomatis meningkatkan kewaspadaanku. Jujur saja, aku bingung dengan apa yang aku rasakan saat ini. Aku jelas takut, tapi juga merasa tenang. Malah kalau dipikir-pikir, rasa tenang dan percaya itu justru lebih besar daripada rasa takutku.

Dia masih menggenggam tanganku dan tangan satunya berada di pegangan pintu, bersiap untuk membukanya. Sebelum terdengar bunyi “ceklek” dan tubuhku bergerak mengikuti langkah di depanku, refleks mataku terpejam. Aku sendiri tidak tahu mengapa aku melakukannya. Hanya sebuah intuisi saja.

Ketika menapakkan kaki di lantai yang sepertinya terbuat dari semen, aku merasa kami sudah berada di ruangan yang lain, bukan di lorong yang sampai sekarang ini kupikir adalah lorong gereja.

Lihat selengkapnya