“Ed. Panggil aku Ed.” Cowok itu menjawab.
“Aku Mima.” Aku mengulurkan tangan sebagai tanda kesopanan dan adab berkenalan, tapi dia mengabaikannya. Aku pun menarik tanganku kembali.
“Nama yang unik.” Ed mangut-mangut. Entah, unik yang dimaksud dalam arti positif atau sebaliknya. Dia lalu melihat ke sekeliling ruangan dan berkata, “Mumpung kamu di sini, bisa bantu aku?”
Aku mengangguk, meski kepalaku penuh dengan tanda tanya besar. Namun, menolak permintaannya juga tidak pantas karena dia sudah menolongku keluar dari tempat menakutkan tadi. Jangan lupa juga aku yang hampir terjatuh dua kali. Yah, anggap saja ini adalah balas budiku padanya.
“Bawa aja sebisamu.” Ed berkata sambil menunjuk meja dekat tempatku berdiri.
Aku melangkah hati-hati di antara barang yang berserak di lantai. Lantas aku mengambil tumpukan kain di meja yang kemudian aku tahu itu adalah kain untuk berkemah alias tenda. Sedangkan Ed sendiri, mengambil sejumlah gulungan tikar yang disandarkan di dinding.
“Ayo, ikut. Hari ini anak-anak minta berkemah di lapangan. Pasti seru,” kata Ed sambil memanggul gulungan tikar di bahunya.
“Kemah? Anak-anak?” Aku bingung, tapi tetap berjalan mengikutinya ke arah pintu yang sama kusamnya dengan pintu yang aku masuki. Teringat pintu tadi, aku menoleh ke belakang dan mendapati pintu itu sudah tidak ada di sana.
Hilang. Raib. Lenyap. Apa pun sebutannya. Di tempat pintu itu berada kini hanyalah sebuah dinding putih yang sudah sedikit menguning dengan beberapa retakan kecil. Beberapa paku dan gantungan tertancap di sana dengan segala benda yang menjuntai tidak beraturan. Kain—mungkin semacam pakaian atau lap, tali-temali, beberapa benda logam entah apa namanya, dan lainnya.
Aku sebenarnya cukup kaget dengan perubahan ajaib itu, bahkan otakku masih terus memerintahkan untuk waspada. Tapi hatiku malah berkata sebaliknya. Di sisi lain, aku bisa mengerti, karena kejadian yang aku alami ini memang sudah tidak bisa dipikirkan secara logika.