Rumah untuk Pulang

Lirin Kartini
Chapter #6

BAB. 6 - PINDAH

Riuh rendah celotehan anak-anak menggema ketika pintu dibuka. Menerobos masuk ke gendang telingaku dengan lancangnya. Memaksaku untuk segera membuka mata yang otomatis terpejam karena perbedaan kekuatan cahaya di dalam dan luar ruangan.

Setelah mataku terbiasa dengan cahaya terang, aku melihat sesuatu yang … entahlah. Aku tidak bisa menggambarkan suasana dan perasaan ini dengan jelas. Aku hanya merasa nyaman dan damai.

Pemandangan yang ada di hadapanku sekarang seperti sebuah lukisan. Hijau rumput dan pepohonan, juga langit biru nan bersih menyapa begitu aku keluar dari gudang. Aku juga mendengar aliran air yang sedikit beriak. Sepertinya ada sungai kecil di dekat sini.

Aku mengembuskan napas perlahan. Rasanya sejuk dan menenangkan.

Baiklah. Sepertinya aku memang sudah mati atau sekarat dan berkelana di dunia lain. Dunia yang berbeda dengan tempatku sebelumnya. Ini bukan di lingkungan gereja, bukan pula suatu tempat di kotaku. Seingatku, tidak ada yang seperti ini di tempat tinggalku.

Padang rumput itu sangat luas seperti tanpa batas, jika saja aku tidak melihat kilau pantulan air sungai di bawah sana. Pepohonan rindang dengan kicau burung yang bersahut-sahutan ada di sebelah kanan. Tepat di samping gudang, ada hutan yang tidak terlalu rapat dengan batang-batang pohon yang menjulang tinggi. Sementara itu, di sisi kiri, agak jauh dari tempatku berada, berdiri bangunan berlantai dua yang tampaknya adalah sebuah sekolah.

Aku melihat beberapa orang—dewasa dan pemuda—mondar-mandir di lapangan rumput sambil membawa atau mengangkut barang. Ada juga anak-anak sekitar usia sekolah dasar berlarian ke sana ke mari sambil tertawa. Segelintir anak mengekor di belakang orang dewasa itu sambil membawa peralatan memasak dengan tangan-tangan mungilnya.

Ed menatapku dan tersenyum. “Shall we?”

Aku memahami maksud Ed yang memintaku agar mengikutinya bergabung dengan kumpulan orang-orang itu. Kuanggukkan kepala dan mulai berjalan di belakang Ed.

Saat ini, aku sudah memutuskan untuk menerima saja apa yang terjadi. Entah di mana aku berada, yang pasti, aku belum bisa pulang ke rumahku sendiri. Atau mungkin, aku tidak akan bisa pulang.

Aku menatap ke arah lapangan lagi. Langkahku semakin mantap menjejak rerumputan. Kumpulan orang-orang itu pun terlihat semakin jelas. Sebagian di antaranya, melambaikan tangan dan tersenyum lebar pada kami—ah, mungkin pada Ed. Sisanya hanya menoleh dan tersenyum singkat lalu melanjutkan kegiatannya, yaitu menata peralatan memasak di satu tempat.

Aku merasa Ed sedang mengamatiku, karena berikutnya dia berkata, “Kamu akan segera terbiasa.”

Lihat selengkapnya