“Ayo, ke sana.” Ed menunjuk ke orang-orang yang mulai mendirikan tenda. Tanpa menunggu jawabanku, dia berjalan lebih dulu dan meninggalkan aku yang masih terdiam.
Kata-kata yang diucapkan Ed barusan bagaikan palu godam yang menghantam jiwa dan ragaku. Papa sudah memberi alasan yang jelas. Situasi negara saat ini sedang kacau. Demontrasi terjadi di mana-mana. Meski sebagian besar terpusat di ibu kota, bukan tidak mungkin dampaknya akan merembet ke daerah lain, termasuk kota tempat tinggalku. Apalagi jika ditumpangi atau disusupi oleh sekelompok orang yang hendak mengambil keuntungan demi mereka sendiri, menebarkan kebencian yang tidak ada hubungannya dengan inti dan tujuan demonstrasi. Mereka yang berdemonstrasi menuntut perihal A, sekelompok ini bisa saja menyerang pihak B.
Tentu di negara yang memiliki banyak perbedaan di antara penduduknya, gesekan-gesekan itu sangat mungkin terjadi. Namun, tidak lantas membuat perbedaan itu menjadi pemicu permusuhan antar warga maupun kelompok, bukan? Apalagi jika ditambah beberapa berita yang belum diketahui kebenarannya.
Begitulah yang pernah aku dengar dari pembicaraan-pembicaraan orang dewasa. Aku tidak pernah mengerti atau memikirkan masalah politik dan negara. Kelihatannya rumit dan berat. Aku hanya ingin menjalani masa remajaku tanpa memikirkan semua perbedaan yang ada.
Ya, aku dan Ega—keluarga kami, adalah sebagian kecil yang termasuk dalam perbedaan itu. Perlakuan diskriminasi kerap aku terima sejak dulu. Tidak semua orang, hanya beberapa tertentu saja—entah apa alasannya, tapi kejadian semacam itu pernah aku alami.
Aku berusaha tidak ambil pusing dan tidak memedulikan hal itu. Meski bermata sipit dan mempunyai garis keturunan yang berbeda, tapi aku tetaplah warga negara yang sah dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Hal itu sudah ada dalam buku-buku pelajaran di sekolah, ‘kan? Jadi, apa alasan mereka tetap melakukannya? Aku tak tahu.
Yang aku sadari sekarang adalah apa yang Papa lakukan selama ini, juga larangan sementara masuk sekolah dan keluar rumah, hanya demi keamananku. Dia hanya berniat menjagaku dan tidak ingin aku mengalami hal buruk. Sayangnya, semua sudah terlambat.
Aku tidak bisa pulang, meskipun aku ingin ….
“Ah, maaf, Kak!” Seorang anak kecil rupanya tidak sengaja menyenggolku.