Berbekal insting dan melihat orang-orang di sekelilingku, tanpa tahu cara mendirikan tenda yang benar, aku nekat melakukannya. Sepertinya bukan hal yang susah, tapi mengapa dia sampai harus meremehkanku seperti itu?
Ternyata aku salah! Mendirikan tenda ini adalah pengalaman baru bagiku. Meski di sekolah ada kegiatan Pramuka, tapi aku tidak pernah ikut. Lebih tepatnya, Papa tidak mengizinkan aku ikut dengan alasan yang sama seperti larangan-larangan lainnya.
Ini semua gara-gara Papa! Koko juga nggak mau ngajarin! Padahal dia sudah pernah ikut perkemahan beberapa kali. Dasar pelit!
Ah, lagi-lagi ingatan tentang keluargaku melintas. Bagaimana kabar mereka sekarang? Apakah mereka masih bersedih? Apakah jasadku sudah dikuburkan? Apakah dia tahu tentang keadaan adik yang ditinggalkannya ini?
Dia yang aku maksud di sini adalah satu-satunya kakak laki-lakiku. Koko aku memanggilnya. Sejak dia kuliah di ibu kota, aku jarang berhubungan dengannya lagi. Lebih tepatnya, aku yang tidak mau menerima telepon darinya. Aku masih kesal dan ngambek karena dia memilih pergi ke kota yang jauh, padahal aku sudah merengek pada Papa dan Mama agar tidak mengizinkannya pergi. Itu sebabnya aku kesal juga dengan Papa karena merasa pilih kasih, karena mereka selalu melarangku bepergian yang jauh tapi malah mengizinkan Koko. Untuk kuliah nanti pun, sudah diputuskan di kota sebelah, yang jaraknya tidak terlalu jauh.
Aku terdiam sejenak. Sejujurnya, aku juga merindukannya. Aku merindukan mereka semua. Tapi, apa daya, sudah tidak ada jalan lain untuk pulang dan bertemu mereka lagi.
“Hei, Anak baru! Yang bener dong masangnya! Kamu ini bisa nggak sih? Bukannya bantuin, malah ngerepotin!” Ucapan pedas itu terdengar dari belakang hingga aku melonjak kaget akibat melamun.
Aku lalu mendongak dan mendapati Indra yang berkacak pinggang dengan ekspresi marah. Matanya melotot di balik poni panjangnya yang menjuntai, mengamati pasak yang aku pasang di rumput.
Bosan dengan julukan “anak baru” dari Indra, emosiku naik. Aku tinggalkan pasak yang belum terpasang sempurna dan berdiri menghadapnya. Postur tubuhku yang lebih pendek bersikap seolah menantangnya.
“Hei!” kataku penuh emosi. “Anak baru, anak baru! Jangan panggil aku anak baru! Aku juga punya nama! Lagian, kalau aku anak baru, kamu anak lama? Gitu?”
Indra tidak mau kalah. Dia balas berteriak, “Suka-suka aku mau panggil kamu apa! Gitu aja diributin! Yang penting sekarang, kamu bisa atau enggak?! Jangan ngaku-ngaku bisa kalau sebenernya nggak bisa!”
“Kamu sendiri, memangnya bisa diriin tenda sendirian? Tuh, yang lain kelompok tiga orang. Kamu yang nggak mau dibantu karena merasa bisa, atau nggak ada yang bantu kamu karena kamu kayak gini?”