Aku menoleh dan langsung kaget melihat Indra ada di belakangku. Dia hanya berdiri bagai patung di antara orang-orang yang sedang menari. Yaaa ... untuk sesaat aku bisa melihat bahunya sedikit bergerak naik-turun. Sedikiiiitt sekali, nyaris tidak terlihat. Padahal saat bermain gitar, tubuhnya seakan menyatu dengan musik.
Jelas aku heran. Lebih heran lagi, mengapa dia ada di kerumunan jika hanya menjadi sebuah arca batu yang tidak berguna. Lebih baik dia tetap bermain gitar dan bernyanyi saja. Gara-gara dia, saking kagetnya, aku jadi hilang keseimbangan. Kakiku saling membelit seperti benang kusut.
Jangan dikira akan terjadi sesuatu yang manis. Jangan membayangkan suatu adegan romantis yang sering muncul di drama remaja televisi atau komik. Apalagi orang itu adalah Indra. Jangan! Sama sekali jangan!
Jadi, bisa ditebak apa yang terjadi berikutnya?
Jatuh? Tentu saja aku jatuh. Benar-benar jatuh ke rumput dengan hidung dan mulut lebih dulu, tepat di depan kaki Indra. Dan sekarang, sepasang kaki itu malah mundur selangkah.
Apa-apaan dia? Apa nggak ada sedikit pun niat buat bantu aku berdiri?
Aku bisa merasakan suasana di sekitar menjadi hening. Mungkin terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi, tak lama kemudian, menjadi riuh setelah mengetahui aku telungkup di rumput.
"Ada apa?" Suara Ed terdengar bersamaan dengan tubuhnya yang menyeruak kerumunan.
Sebelum Ed mencapai tempatku, aku sudah hendak berdiri. Lalu, kulihat satu tangan dengan jari yang penuh goresan dan kapalan terulur di depan hidungku.
"Aku bisa sendiri!" kataku ketus. Mengabaikan tangan Indra, aku segera berdiri sendiri. Sambil menatap sebal padanya, aku membersihkan wajah dan pakaianku dari rumput-rumput yang menempel.
Indra tersenyum sinis dan mendengkus. Sementara itu bisik-bisik mulai terdengar. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa dan bagaimana kejadiannya menguar, hingga Ed tiba di depanku. Chandra menyusul di belakangnya sambil membawa gitar.
"Mima! Kamu kenapa?" Wajah Ed tampak cemas dan panik. Matanya menyusuri tubuhku seperti yang pernah dia lakukan sebelumnya.
“Kok bisa jatuh?” Chandra ikut bertanya. “Kamu apain, Ndra?”
Indra mendelik dituduh seperti itu oleh Chandra. Apalagi Ed juga menatapnya tajam.
"Nggak apa-apa. Cuma kesandung tadi.” Buru-buru aku menjawab sebelum Indra membuka mulut. Mataku melirik sekilas padanya. Kalau dia pikir aku akan mengadukannya pada Ed dan Chandra, atau pada semua orang di sini, dia salah besar. Aku tidak sejahat dan sepicik itu. Aku akui, ini memang kesalahanku sendiri. Dia tidak salah. Kesalahannya hanya satu. Tapi, apa yang bisa aku harapkan dari seseorang yang sudah mengibarkan bendera permusuhan sejak awal?
“Beneran nggak apa-apa?” Ed masih terlihat cemas.