Aku memejamkan mata. Berusaha untuk tidur di atas alas kasur tipis di dalam tenda. Tanpa tahu sebabnya, otakku terus berputar-putar. Mataku memang terpejam, tapi aku bisa merasakan pupil hitam ini terus bergerak ke sana ke mari.
Ada sesuatu yang mengusik pikiranku. Ada yang menganggu ketenanganku. Seakan melarangku untuk terlelap. Seperti mengharuskan aku untuk tetap terjaga.
Ucapan terakhir Ed juga sangat membingungkan. Apa maksudnya? Mengapa dia seperti menganggap keberadaanku di sini adalah kesalahan? Sama seperti Indra yang dari awal sudah menolak kehadiranku di tempat ini. Ed melakukannya karena terpaksa. Terpaksa karena apa?
Karena gelisah tidak bisa tidur, tubuhku sedikit bergerak dan menyenggol Nita yang tidur di samping kiriku. Gadis itu menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, tapi matanya tertutup.
“Ah, dia ngigau,” gumamku pelan tidak ingin membangunkannya. Tapi, berbeda dengan Titin di sebelah kananku. Dia terbangun.
“Nggak bisa tidur?” tanyanya.
Aku menoleh padanya dan mengangguk.
Titin tersenyum sambil meletakkan lengannya di atas perutku, seperti sedang memeluk atau menenangkan anak kecil yang ketakutan tidak bisa tidur. “Hari pertama di tempat baru memang begitu. Tapi, lama-lama bakal kerasan kok.”
“Hmm.”
“Atau kamu kecapekan? Kadang ada beberapa orang yang kalau capek itu malah susah tidur. Kamu biasanya begitu?”
“Ah, nggak kok. Sama sekali nggak capek. Tadi aku juga nggak banyak lakuin kerjaan yang gimana-gimana. Masa begitu aja capek?”
“Oh, iya juga sih. Eh, besok aku mau tunjukin tempat yang asyik. Mau? Sayang banget kalau sudah di sini, tapi nggak ke mana-mana. Nita juga tahu tempat-tempat rahasia yang biasa dipakai anak-anak bermain petak umpet.”
“Oh, ada yang begitu juga?”
“Iya. Kamu pasti suka deh.” Titin tersenyum. “Tempat ini indah dan nyaman banget. Di sini bebas mau ngapain aja. Nggak ada larangan, nggak ada aturan. Pokoknya enak sih. Ini yang bikin aku betah. Kamu ngerasa gitu juga nggak?”
Aku tidak menjawab. Sungguh, hatiku mendadak gelisah. Rasa rindu akan rumah semakin kuat. Keinginan untuk pulang juga makin besar.
“Ya, sudah. Kamu coba tidur aja dulu, biar besok bangun bisa segar. Nggak usah mikir macem-macem. Nanti lelap sendiri kok,” kata Titin.
Aku tahu dia berusaha menghibur. Tapi, entah mengapa aku sama sekali tidak merasa terhibur. Rasanya ada yang salah.