Aku semakin bingung dengan sikap Ed dan lainnya. Seperti terburu-buru karena dikejar sesuatu atau takut karena sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Tapi ….”
“Dengerin aku, Mima! Apa pun yang terjadi nanti, kamu harus tetap pergi. Jangan menoleh atau berhenti.”
“Lalu kamu? Mereka?” Aku menunjuk Chandra dan Indra.
Ed menggeleng gusar. Mungkin karena tidak sabar mendengar aku terus bertanya. “Mima, denger baik-baik. Apa yang kamu lihat dan rasain di sini, nggak sebaik yang kamu pikir. Di sini bukan tempatmu. Kamu harus pulang. Kamu nggak kangen sama orang tuamu? Saudaramu? Temen-temenmu?”
Aku terdiam. Mengingat kembali perasaan tidak enak yang tadi sempat muncul.
Ed mengembuskan napas panjang. “Mungkin kamu ngerasa sikap mereka nggak adil, tapi mereka itu sayang sama kamu, Mima. Juga kokomu. Meski jauh, dia selalu peduli sama kamu. Mereka semua sayang sama kamu. Jangan biarin mereka sedih untuk kedua kali!”
Aku jelas kaget mendengar ucapan Ed. Seingatku, aku tidak pernah menceritakan kalau aku punya kakak laki-laki. Dari mana dia tahu? Sedih untuk kedua kali? Apa maksudnya?
Banyak pertanyaan muncul di kepalaku. Berdesakan ingin segera mendapat jawaban, tapi hanya dorongan keras di punggung yang kudapat. Ed memaksaku untuk terus berjalan.
“Jalan terus sampai gudang!” katanya.
Kami berempat berjalan cepat menuju gudang yang gelap. Suasana sangat hening. Tidak ada suara hewan malam yang bernyanyi, pun angin enggan berhembus. Malam itu begitu sunyi sehingga bunyi sekecil apa pun akan terdengar. Kami harus melangkah hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Sayangnya, karena gelap—tidak ada yang membawa senter atau memang sengaja—kakiku tersandung pijakan tanah yang agak tinggi.
“Aduh!” Aku memekik pelan. Tapi rupanya mampu memecah keheningan malam yang gelap. Saat aku menoleh ke belakang, beberapa tenda mulai menyalakan lampu dan bayangan orang-orang terlihat keluar dari tenda dengan senter di tangan. Cahaya kuning dari senter itu mengarah tepat di tempat kami berdiri.
“Hei! Kalian sedang apa?” Teriakan itu terdengar sangat lantang disusul suara-suara lain. Sekarang sudah banyak orang berdiri di depan tenda. Mereka mulai bergerak mendekat pada kami yang sudah setengah jalan menuju gudang. Makin lama, makin cepat.
“Gawat! Mereka tahu, Ed!” Chandra panik. Begitu juga Ed dan Indra.
Seketika aku jadi merasa bersalah. Karena kecerobohanku, semua menjadi kacau. “So-sori … nggak sengaja …,” kataku pelan.