Aku membuka pintu dan mendapati orang tuaku duduk saling berhadapan dalam diam. Mereka langsung menoleh dan berdiri ketika menyadari kehadiranku. Aku yang kaget setengah mati, hanya bisa mematung di ambang pintu.
Gawat! Kayaknya mereka sudah tahu!
Aku lupa kalau tempat tinggalku ini kota kecil. Berita bisa menyebar dengan cepat dari mulut ke mulut. Mereka pasti sudah mendengar kehebohan di gereja tadi. Mungkin karena khawatir, mereka kemudian pulang ke rumah dan menemukan putri bungsunya tidak ada.
Melihat tatapan mereka padaku, aku pun pasrah. Kepalaku menunduk. Percuma saja aku berbohong dan menghindar. Lagipula, ini memang salahku dan aku pantas dihukum. Jadi, sebelum Papa atau Mama mengatakan sesuatu, aku berniat meminta maaf lebih dulu.
“Ma … Pa … maaf, Mima—”
Aku belum menyelesaikan kalimatku, tapi Mama langsung menghambur memelukku. Kemudian Papa merangkul kami berdua. Mama menangis dan Papa seperti mengembuskan napas berkali-kali.
“Mima! Syukurlah kamu nggak kenapa-kenapa, Nak!” ucap Mama di sela-sela isak tangisnya.
“Puji Tuhan, kamu baik-baik saja.” Papa berkata dengan nada cukup lirih tapi masih bisa aku dengar.
Reaksi seperti ini sama sekali tidak aku duga. Kupikir, aku bakal dimarahi habis-habisan oleh Papa. Bahkan aku menunggu-nunggu Papa mencetuskan apa hukuman yang harus kuterima. Ternyata, tidak sepatah kata pun terkait hukuman yang keluar dari bibirnya.
Aku heran. Jelas amat sangat heran sekali. Oh, aku memang sengaja menyebutnya demikian. Mungkin terkesan berlebihan, tapi tidak. Sikap yang mereka tunjukkan itu sama sekali tidak seperti biasanya.
“Mereka itu kayak bukan mama papaku, Ga,” kataku saat aku mengobrol dengan Ega. Setelah Mama dan Papa memastikan aku tidak terluka atau kenapa-kenapa, mereka kembali ke toko. Aku melihat telepon rumah tidak dikunci. Jadi, aku menelepon Ega untuk memberitahu keadaanku, sekaligus bertanya tentang keadaannya juga.
“Kalau bukan mama dan papamu, terus mereka siapa? Alien?” tukas Ega lalu tertawa.
“Ya, nggak gitu juga, Ga. Cuma kok lain gitu. Aku ‘kan jadi bingung. Mending aku dimarahin deh daripada kayak gini.”
“Sama kok. Mama papaku juga nggak ngomong apa-apa. Mungkin, kita selamat itu sudah cukup. Kita juga sudah gede, sudah tahu kalau tadi itu kesalahan kita. Mungkin mereka pikir, kita sudah dapet hukumannya. Jadi nggak perlu diomelin lagi.”
Aku mangut-mangut meski Ega tidak bisa melihatnya.
“Tapi, serius, Mima. Aku tuh bingung banget nyari kamu. Kamu kayak ilang gitu aja.” Ega kembali mengingatkan kejadian tadi.