Meski penasaran, tapi tidak ada yang bisa aku lakukan tentang hal itu. Aku pikir, mungkin suratnya menghilang karena bukan berasal dari dunia ini. Entah teori dari mana dan berdasarkan apa. Itu karena aku yakin sudah memasukkannya ke kantong. Aku menganggapnya demikian untuk mengurangi rasa kecewa yang masih tersisa.
Aku duduk menghadap meja belajar sambil bertopang dagu. Ingatanku kembali ke tempat itu. Ke masa itu di mana Ed berkata hanya aku dan Indra yang bisa, sedangkan dirinya dan Chandra tidak. Aku baru mengerti sekarang. Itu artinya, mereka sudah … meninggal?
Hatiku mendadak sedih. Sosok Ed dan Chandra memenuhi kepalaku, tapi wajah mereka tidak begitu jelas. Keduanya tampak buram seperti terhalang kabut tebal. Anehnya lagi, semakin aku berusaha keras untuk mengingatnya—interaksi antara aku dengan Ed maupun Chandra, semakin kabur pula ingatan itu. Aku sama sekali tidak mendapatkan apa-apa. Justru dadaku terasa sesak dan sakit.
Ah, sudahlah. Memang sejak awal, pertemuan kami cukup aneh dan tidak masuk akal. Apa yang aku alami pun tidak bisa dipercaya. Tidak ada saksi atau bukti yang meyakinkan. Apalagi menurut kepercayaanku, hal-hal semacam itu tidak ada. Orang meninggal, ya meninggal. Masuk surga atau neraka. Sudah, titik, tidak pakai koma. Tidak ada itu yang namanya tempat persinggahan sementara, tempat arwah penasaran, atau hal-hal sejenis lainnya.
Aku harus melupakannya. Anggap saja itu mimpi. Mimpi ‘kan bunga tidur. Yang ada dalam mimpi seringkali tidak bisa dipercaya. Setuju?
Ya, aku juga setuju. Tapi, mengapa sekarang aku malah memimpikan Indra?! Mengapa wajah menyebalkan itu masih teringat dengan jelas?!
Aku terbangun dengan pipi menempel di meja dan setetes air liur yang menggenang di dekatnya. Rupanya aku tertidur. Buru-buru aku mengusap bibir dan membersihkan meja, lantas memukul-mukul kepalaku.
Sialan! Kenapa mesti Indra? Nggak Chandra aja atau Ed gitu? Astaga!
Sambil menggerutu, aku bangkit dari kursi. Jam dinding di atas pintu menunjukkan hari sudah sore. Dari jendela, aku bisa melihat tetangga sebelah baru saja selesai menyirami halamannya. Dia meletakkan selang air tanpa mengecek apakah sudah tertutup rapat atau belum, lalu pergi begitu saja.
Aku mendengkus pelan. Ingin rasanya mengumpat atau mengomel, tapi urung. Toh, dia tidak akan mendengarnya. Jadi, sia-sia saja aku melakukannya.
Kuputuskan untuk keluar dari kamar dan mendapati ruang depan masih kosong. Sepertinya Mama dan Papa belum pulang dari toko. Biasanya, salah satu dari mereka akan pulang lebih dulu untuk mandi dan makan malam.
“Mungkin lagi ramai banget,” gumamku pelan lalu beranjak ke kamar mandi.
Niat hati memang ingin melupakan semua kejadian yang telah lalu. Tapi, apa daya jika kenangan itu masih melekat kuat seperti direkatkan dengan lem super?