Ke Jakarta? Malam-malam begini? Ada keperluan apa? Semua pertanyaan-pertanyaan yang aku ajukan itu tidak satu pun yang mendapat jawaban. Baik Mama atau Papa, keduanya kompak membisu. Tidak ada gurauan atau obrolan yang mengiringi perjalanan darat kami seperti dulu.
“Kamu tidur aja. Nanti Mama bangunin kalau sudah sampai.” Hanya itu yang Mama katakan saat aku hendak bertanya lagi.
Sebenarnya ada satu tempat yang bisa kami tuju di kota besar itu. Iya, hanya satu orang yang kami kenal tinggal di sana. Siapa lagi kalau bukan kokoku, anak kesayangan mereka?
Aku pun terdiam. Ada urusan apa sih sampai mendadak ke sana? Apa tadi dia telepon? Apa ada yang dia butuhkan lagi sampai Mama, Papa, dan aku harus ke sana? Wisuda? Lulus saja belum, masa wisuda? Atau malah … D.O?
Cepat-cepat aku menegakkan badan dari sandaran kursi. “Kita ke tempat Koko?” tanyaku segera.
“Sudah kamu tidur aja. Masih lama perjalanannya,” jawab Mama sambil mengusap kepalaku.
“Memangnya Koko kenapa? Tadi dia telepon? Apa ada masalah? Kuliahnya nggak bener? D.O?” Semua pemikiran yang melintas di kepalaku, aku utarakan tanpa berniat memercayainya. Koko itu pintar, jadi rasanya tidak mungkin sampai Drop Out atau D.O apalagi membuat masalah.
“Nggak usah mikir macem-macem. Tidur aja,” tegas Papa.
Nada suara yang seperti itu berarti aku harus menurut, tidak boleh bertanya atau membantah lagi. Meski kesal, aku mengempaskan tubuh ke sandaran kursi dengan bibir cemberut.
Perjalanan belasan jam jalur darat saat malam tidak terlalu menarik. Tidak banyak yang bisa dilihat karena gelap. Tanpa sadar, aku pun tertidur dan bangun ketika matahari sudah bersinar terang.
Kami sudah tiba di ibu kota negara ini. Kota terbesar dan padat penduduknya. Sepanjang jalan gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi tertangkap olehku. Persis seperti yang aku lihat di berita atau film tentang kota ini. Suasananya pun cukup ramai meski hari masih pagi. Sangat berbeda dengan kota kecil tempatku tinggal.
Aku sama sekali tidak tahu arah perjalanan selanjutnya karena Mama dan Papa juga tidak menjelaskan apa-apa. Aku hanya duduk diam sambil mengamati dan menerka-nerka saja. Lagipula, tidur di mobil membuat tubuhku pegal. Jadi, aku pun malas untuk memulai perdebatan.