“Kau rindukan rumah untuk pulang …. Tempat penuh canda dan tawa mesra …. Haruskah aku di sini menetap bersamamu …. Ataukah pulang jadi tujuanku ….”
Tanpa sadar aku ikut melantunkan lagu itu dalam gumaman, bersamaan dengan sosok yang sedang bermain gitar sambil duduk di tempat tidur. Salah satu kakinya dibalut perban putih. Di balik poninya yang panjang, ada plester yang menempel di dahi.
Cowok yang pernah ada dalam mimpiku itu mengakhiri nyanyiannya dengan beberapa petikan penutup. Dia lalu diam dan menunduk, seolah meresapi setiap kata dan rasa dari lagu itu.
“Cari siapa, ya, Dek?” Suara seorang perempuan yang tadi aku dengar dari luar, membuyarkan lamunanku.
Aku tersadar dan kaget karena perempuan itu sudah berdiri di hadapanku. Tangannya membawa wadah berisi pecahan kaca yang kuduga adalah gelas. Dia tampak heran melihat keberadaanku di kamar ini.
“Ah, anu … enggak. Nggak cari siapa-siapa …,” jawabku gugup dan segera berbalik. Inginku cepat-cepat pergi dari sana, tapi cowok itu menahan langkahku.
“Tunggu!”
“Kamu kenal, Ndra?” Perempuan di depanku bertanya heran. Dia menatap bergantian padaku dan cowok itu.
Aku yang masih berdiri bagai patung di depan pintu, semakin tidak bisa bergerak atau bereaksi apa-apa, ketika cowok itu menyebut namaku dengan benar.
“Kamu … Yemima …?”
Dadaku berdesir hebat dan tanganku mengepal erat di samping badan. Masih belum menggerakkan tubuh, apalagi menoleh, aku mendengarnya berkata lagi, “Iya, kayaknya aku kenal dia.”
“Oh, kalau begitu, masuk aja, Dek.” Wanita itu tersenyum sambil mempersilakan aku masuk.
Cepat-cepat aku menggeleng. “Nggak …. Maaf, saya salah kamar. Permisi …,” kataku gugup sekaligus panik.