Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #1

1 | Tiga Bencana di Satu Waktu

Palu, 28 September 2018.

Pernahkah kalian berpikir atau sekedar membayangkan bagaimana jika tanah di tempat tinggal kalian murka dan menelan apapun yang ada diatasnya? Tidak hanya bangunan dan kendaraan, tapi juga menelan manusianya.

Kejadian itu tak pernah terpikirkan bahkan terlintas sedetikpun di kepala Lutfi. Tapi hari ini, ia menyaksikan dan mengalami sendiri bagaimana bencana mengerikan itu terjadi.

Gempa yang di duga berkekuatan 7 skala Ritcher melanda kota Palu sore itu. Menyebabkan tanahnya bergetar dengan hebat, bergerak naik-turun seperti hendak mengeluarkan isi perutnya. Guncangan besar itu membuat ikatan tanah terputus menjadikan tanah terbelah dan berubah cair.

Senja dengan semburat jingga menawan tampil di langit itu kini penuh dengan riuh yang berasl dari teriak histeris para penduduk Bumi Tadulako.

Dengan panik yang mengerubungi kepala, semua manusia lari berhamburan untuk menyelematkan diri masing-masing. Sama seperti yang lain, Lutfi bersama mama dan adiknya berusaha lari dari tanah yang sedang murka itu.

Ketika berlari, Lutfi menoleh ke belakang sekilas. Masih bisa ditangkap oleh netranya, rumahnya kini sudah terbawa oleh ombak lumpur dan bertubruk dengan rumah milik warga yang lain.

Tiba-tiba jalan yang mereka lintasi terbelah, membuat separuh badan mama dan adiknya terjatuh di patahan berlumpur itu dan mulai terisap oleh lumpur. Bukan hanya mama dan adiknya, dua tetangga perempuannya juga terjatuh di sana.

Atas bantuan bapak-bapak komplek, Lutfi berusaha mengeluarkan mama, adik, dan dua tetangganya untuk keluar dari patahan berlumpur itu.

"Cepat! Lumpur itu makin dekat!" teriak Pak Edi, menujuk ombak lumpur yang bergerak cepat menuju posisi mereka.

Seratus persen tenaga sudah mereka kerahkan, namun tampaknya tak ada pengaruhnya bagi lumpur dengan isapan kuat. Usaha mereka sia-sia.

Merasa peluangnya untuk selamat kecil, Dewi, Mama Lutfi sudah pasrah. "Sudah, Fi. Lebih baik kalian semua menyelamatkan diri lebih dahulu," suruhnya, dengan suara lemah. Tidak hanya separuh badannya, lumpur itu seperti mengisap energinya juga. Sama pasrahnya dengan Dewi, Lulu, adik Lutfi dan kedua tetangga perempuan itu mengangguk sependapat. Mereka sudah pasra hidupnya berakhir terkubur oleh lumpur.

Lutfi yang tidak setuju dengan kalimat perintah itu spontan menggeleng kuat. "Tidak, kita harus selamat sama-sama," ujarnya.

"Yang ada kita bisa mati sama-sama disini, cepat selamatkan diri kau!" tegas Dewi.

"Ma!"

"Fi, yang masih bisa selamat harus selamat. Setidaknya ada satu dari kita yang bisa temani papamu berduka. Jadi, tolong tetap hidup dan tetap disisi papamu," pesan Dewi, menatap serius Putra sulungnya itu.

Sore ketika bencana itu terjadi, Ayah Lutfi memang belum pulang dari kantornya. Ayahnya pasti akan sangat terpukul ketika pulang nanti mendapat kabar bahwa semua anggota keluarga kecilnya terkubur oleh lumpur.

Dewi beralih menatap bapak-bapak komplek tadi dengan tatapan penuh harap permintaannya akan disetujui. Mereka semua pasti punya keluarga yang menunggu. Dewi tidak ingin mereka semua celaka hanya karena hendak menolongnya. "Pak, tolong bawa Lutfi ke tempat yang aman," pintanya.

Setelah berperang dengan pikiran masing-masing, bapak-bapak itu akhirnya mengikuti permintaan Dewi. Tidak munafik, mereka memang ingin menyelamatkan diri sendiri lebih dulu. Mereka menarik Lutfi dengan paksa, dan membopongnya menjauh menuju tempat yang aman.

Lutfi memberontak, ia ingin kembali berusaha menyelamatkan mama dan adiknya namun tenaganya kalah besar untuk bisa lepas dari bapak-bapak itu. Dikejauhan masih bisa disaksikan oleh mata dan direkam oleh memori Lutfi, bagaimana lumpur menelan mama dan adiknya hidup-hidup.

Lihat selengkapnya