Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #2

2 | Benarkah Kami Penyebabnya?

Malam setelah bencana besar itu melanda, gempa dengan kekuatan kecil masih terus berdatangan. Guncangan gempa sore tadi ternyata tidak hanya merusak jaringan komunikasi tapi juga memutus aliran listrik, sehingga kondisi kota Palu menjadi gelap gulita saat ini.

Daerah pesisir pantai yang diterjang oleh keganasan tsunami tampak berantakan dengan puing-puing bangunan yang roboh, kendaraan yang mati karena terbawa arus serta mayat manusia yang terkapar dan berserakan dijalanan.

Hakim dan Sabita sudah turun dari parkiran rooftop, tempat mereka menyelamatkan diri tadi setelah ditemukan oleh Tim SAR yang menelusuri area pasca tsunami untuk mengevakuasi penyintas yang selamat. Keduanya kini diantar ke tenda darurat untuk menerima pengobatan dan di data lebih lanjut.

Selama diperjalanan menuju tenda darurat, Sabita dan Hakim selalu dikejutkan dengan mayat-mayat yang mereka lihat terkapar di sepanjang jalan.

Ketika sampai di sana, Sabita langsung mengedarkan pandangannya. Mencari barangkali ada Ayah dan Bundanya di tenda tersebut. Sayangnya nihil, gadis itu bahkan tak menemukan salah satu dari mereka di sana. Begitu juga dengan Hakim, ia tak melihat wujud Mamanya di sana. Remaja itu menggeleng kuat, menepis pikiran-pikiran buruk yang mulai menerobos masuk ke kepalanya.

Hakim membiarkan Sabita di data lebih dulu. Dan selama gadis itu diajukan pertanyaan, Hakim turut mendengarkan. Ternyata, nama gadis itu Sabita. Keluarga merupakan perantau yang baru menetap satu tahun di kota ini. Pantas saja logat atau cara bicaranya berbeda pikir Hakim. Setelah Sabita, giliran Hakim yang ditanya. Kasusnya mirip dengan Sabita. Jika Sabita hanya punya orang tuanya di kota ini, Hakim hanya memiliki mamanya karena papanya sudah lama berpulang.

"Kak." Hakim menahan petugas perempuan ketika hendak beranjak setelah selesai mendatanya, remaja itu kemudian bertanya, "Mama saya, kapan dia di bawa kesini?"

"Tim SAR masih dalam proses mencari penyintas yang selamat. Kamu banyak berdoa, ya, semoga mama-mu segera ditemukan," jawab petugas itu.

Hakim terdiam, jadi, mamanya belum ditemukan diantara penyintas yang selamat? Kalau begitu apakah mama tidak sela---Tidak, tidak. Hakim yakin, mamanya pasti selamat.

Satu jam.

Dua jam.

Dan sekarang hampir 4 jam menunggu, sudah banyak penyintas yang berhasil di bawa ke tenda darurat, namun orang tua Sabita dan mama Hakim belum tampak batang hidungnya. Remaja laki-laki itu menunggu dengan gelisah, sedangkan gadis disampingnya duduk diam dengan tatapan kosong.

Petugas perempuan tadi menghampiri mereka lagi, kali ini dia tidak sendiri, ada perempuan yang terlihat seumuran dengan mama Hakim datang bersamanya.

"Proses evakuasinya dilanjutkan besok, kalian lebih baik istirahat dulu biar energinya banyak lagi," tutur petugas itu, dia lalu menoleh ke wanita disebelahnya. "Oh iya ini namanya Bu Ratna, pengelola panti asuhan harapan. Mengingat wali kalian belum ditemukan, bagaimana kalau kalian menunggu sementara di tenda pantinya?" tambah petugas itu menyampaikan usulannya.

Sabita sejak tadi tidak tertarik menatap siapapun, namun wanita itu membuatnya penasaran. Siapa dia?

Dari penampilannya, wanita itu terlihat sederhana mengenakan baju terusan warna biru dongker dengan noda becek di renda bawahnya. Matanya tampak merah dan lelah seperti habis menangis. Senyum yang ditujukan pada Hakim dan Sabita tampak sedikit dipaksakan, seolah agar ia tampil baik-baik saja. Pikir Sabita, mungkin wanita itu sama seperti dirinya sedih karena terpisah dari keluarganya.

Lihat selengkapnya