Hari pertama pasca bencana.
Sesuai yang dikatakan petugas evakuasi itu, Bu Ratna benar mengelola panti asuhan yang diberi nama Harapan. Rumah pantinya ternyata juga kena imbas bencana likuifaksi. Lokasinya yang dekat dengan komplek tempat bencana tersebut terjadi, membuat bangunan dengan dua lantai itu juga ikut rata dengan tanah. Untungnya sebagian anak pantinya yang ada di rumah panti saat itu berhasil menyelamatkan diri.
Separuh dari mereka, menjadi korban tsunami. Ketika bencana itu terjadi, sebagian anak pantinya pergi ke lokasi festival yang dilaksanakan di pesisir pantai. Ketika Bu Ratna menyusul ke sana, mereka tidak ada di barisan penyintas yang selamat.
Setelah mendengar cerita itu langsung dari Bu Ratna, Hakim dan Sabita jadi tahu alasan penampilan wanita itu tampak berantakan ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Ternyata dia sama seperti mereka, menunggu kabar kerabat yang terpisah karena bencana itu. Padahal wanita itu masih dalam masa berduka, tapi tetap bersedia merangkul anak-anak yang tidak punya tempat tujuan seperti Hakim dan Sabita.
Karena rumah pantinya tidak ada lagi, dengan hati yang sedih, Bu Ratna hanya bisa mengajak Hakim dan Sabita untuk tinggal di tenda pengungsian.
Dan di sinilah mereka sekarang, duduk di dalam tenda yang beralaskan terpal biru untuk bersiap melahap sarapan bersama tujuh anak panti Bu Ratna yang tersisa.
Namun, baik Hakim maupun Sabita, keduanya hanya bergeming menatap sepiring nasi hangat dengan lauk telur dadar buatan Bu Ratna.
"Maaf ya kalau menu sarapannya cuma ini, saya baru akan beli bahan makanan siang nanti," tutur Bu Ratna, merasa tidak enak hati karena kedua anak itu mungkin saja tidak suka dengan menu sarapannya.
"Eh tidak, Bu, saya bukan tidak suka menu ini. Hanya saja sedang tidak napsu makan sekarang." Hakim berbicara dengan cepat, tidak ingin wanita itu salah paham. "Saya masih khawatir menunggu kabar tentang mama saya," lanjutnya.
Sedangkan Sabita hanya diam, alasannya sudah diungkapkan Hakim tadi. Gadis itu juga tidak napsu makan karena gelisah menunggu kabar tentang orang tuanya.
"Sebenarnya saya juga tidak napsu makan seperti kalian, tapi, kita harus makan supaya punya banyak tenaga untuk menunggu kabar itu." Bu Ratna menatap dua remaja di depannya. "Jadi, walaupun sedikit, kalian harus tetap makan," pintanya.
Ucapan Bu Ratna ada benarnya. Mereka harus punya tenaga yang banyak supaya kuat menunggu kabar tentang keluarga mereka.
Tangan Hakim mulai tergerak menyendok sesuap nasi ke dalam mulutnya. Awalnya Sabita terlihat masih enggan menyentuh nasi di piringnya, tapi pada akhirnya gadis itu luluh juga. Menu sederhana itu adalah makanan pertama yang mereka lahap setelah berperang dengan bencana mengerikan kemaren.
Di tempat lain, Lutfi terjaga sepanjang malam dengan pandangan yang tertuju pada komplek perumahannya yang rata dengan tanah. Remaja itu tidak bisa tidur karena khawatir dengan mama dan adiknya.
Tumpukan rumah dan lumpur yang berubah menjadi bukit itu belum tersentuh proses evakuasi. Belum ada petugas evakuasi yang datang dan warga yang selamat belum berani menginjak kaki kembali kesana untuk evakuasi lebih dulu. Mereka masih was-was tanah itu kembali murka.
Setelah selesai sarapan bersama Sabita dan Hakim tadi, Bu Ratna menghampiri Lutfi dan mendudukkan diri di sebelah remaja itu.
"Makan dulu, biar energinya terisi lagi." Ratna menyodorkan sepiring nasi dengan menu yang sama pada Lutfi, wanita itu memang sengaja membuat lebih untuk remaja itu.
Lutfi menoleh sekilas, ia menatap piring berisi nasi dengan lauk telur dadar tanpa minat. Ratna empati melihat anak itu. Karena bencana mengerikan dan perdebatan dengan si ayah semalam, perasaan remaja itu pasti tidak karuan sekarang.