Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #4

4 | Penolakan

7 hari pasca bencana

Setelah tujuh hari berlalu, akhirnya jaringan komunikasi dan aliran listrik mulai membaik di kota Palu. Tenda pengungsian yang tadinya hanya bermodal lampu minyak sebagai penerangnya, kini mulai bisa mengakses listrik.

Enam hari sebelumnya, Sabita tidak dapat melakukan komunikasi jarak jauh dengan saudara dan keluarga besarnya yang berada di kota Surabaya karena kendala jaringan komunikasi yang rusak parah. Hal itu membuat kabar duka yang diterima Sabita belum tersampaikan kepada mereka di sana.

Jasad Ayah dan Bundanya dikebumikan di tempat pemakaman umum yang lokasinya tidak jauh dari tempat pengungsian. Ditemani Bu Ratna dan Hakim, Sabita menghadiri pemakaman itu dengan kondisi tubuh yang lemah. Matanya sayup dan perih karena terlalu banyak menangis. Namun ketika wujud dua manusia yang paling berharga dalam hidupnya sudah hilang dibalik gundukan tanah yang terhias dengan bunga tabur diatasnya, air mata Sabita masih mampu tumpah dengan deras. 

Setelah melewati beberapa hari penuh duka sendirian dengan orang asing di sekelilingnya, akhirnya ia bisa membagi kabar duka itu kepada saudaranya hari ini. Tepat setelah kabar tentang jaringan komunikasi yang membaik tersebar, Sabita segera melakukan panggilan suara kepada saudaranya. 

"Halo? Sabita? Kamu baik-baik aja dek? Kakak khawatir banget setelah nonton berita tentang bencana itu, terakhir kali menelpon, kalian bilang akan pergi le festival. Sulit sekali menghubungi kalian, dengar suara kamu sekarang buat kakak lega. Kalian baik-baik saja kan?"

Suara itu muncul dari seberang sana. Begitu panggilan di ponsel genggaman Sabita tersambung, Farel, kakak pertamanya langsung menodong banyak pertanyaan padanya. 

Mendengar itu, bak sebuah kaset rekaman, kepala Sabita memutar kembali adegan sebelum mereka pergi ke festival, sebelum bencana besar itu melanda. 

"Ayo, Bun, Yah, nanti kita kesorean sampainya," ajak Sabita. 

Di seberang sana, suara seseorang terhubung melalui panggilan video. "Pada mau kemana memangnya?"

Mendengar itu, Sabita menghampiri Bundanya yang sedang duduk di sofa kemudian mengambil alih ponsel dalam genggaman wanita itu.

Di layar ponsel, tampil wajah seorang laki-laki yang sangat mirip Ayahnya, namanya Farel, Kakak tertua Sabita. Farel dan Bian, dua kakak laki-laki Sabita sedang melanjutkan sekolah menengah atas di Kota Surabaya dan tinggal bersama keluarga besar di sana. Sedangkan Sabita bersama Bundanya mengikuti Ayah mereka yang dipindah tugaskan kerja di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Mereka di kota ini sudah menetap selama satu tahun. Dan selama itu, banyak hal yang ingin Sabita eksplore di kota ini.

"Kami mau ke daerah pesisir pantai, sore ini ada festival di sana," jawab Sabita, antusias.

Sebenarnya, Maya tidak ingin menghancurkan semangat putrinya yang sangat ingin datang ke festival sore ini. Namun gempa yang terjadi empat jam yang lalu meresahkannya. Wanita kepala tiga itu khawatir sesuatu yang besar akan terjadi.

"Kita pergi lain kali saja ya, Ta, Bunda takut deh gempa tadi ada susulannya," tutur Maya.

Air muka Sabita berubah seketika, ekspresinya yang tadinya riang berubah cemberut dalam satu detik. "Ngga akan ada gempa susulan, Bunda, ngga usah khawatir," ujar gadis itu, berusaha menyakinkan Bundanya. "Lagipula malam ini kan puncak festival, besok sudah ngga ada, Ayolah." Gadis itu masih membujuk.

"Kalo Bunda ngelarang pergi, jangan pergi, Ta. Biasanya firasat Bunda bener loh," ujar Farel di panggilan telepon yang masih tersambung. 

Lihat selengkapnya