Tujuh hari sudah berlalu, tercatat sekitar dua ribu lebih manusia dinyatakan hilang setelah gempa bumi yang disertai tsunami dan likuifaksi melanda kota Palu. Keluarga Hakim dan Lutfi pun termasuk di antara dua ribu itu.
Kedua remaja itu tidak duduk diam menunggu kabar, mereka mengupayakan segala hal yang mereka bisa untuk segera menerimanya kabar itu.
Lutfi ikut membantu tim evakuasi dan relawan yang masih berusaha mengevakuasi korban likuifaksi yang terkubur tanah. Barangkali jika dia turut membantu, lutfi segera menemukan mama dan adiknya di bawah sana. Meskipun kemungkinan mereka untuk selamat sangat kecil, remaja itu berharap dua orang itu selamat dengan ajaib.
Sedangkan Hakim, yang bisa dilakukannya saat ini adalah menghubungi semua kontak kenalan mamanya yang dia punya.
Hakim menghela napas kasar setelah menutup satu penggilan telpon. Wanita yang baru saja dihubunginya tadi adalah teman masa sekolah mamanya yang masih berhubungan baik hingga sekarang. Sayangnya wanita tadi tidak tahu kabar apapun tentang mama Hakim, mereka terakhir kali bertemu bulan lalu, jauh sebelum bencana besar ini terjadi.
Namun Hakim tidak menyerah. Wanita itu baru orang ke lima yang dihubunginya, masih banyak nomor di daftar panggilan yang harus Hakim hubungi, remaja itu melanjutkan kegiatannya.
Terik matahari di kota kelor hari ini mencapai tiga puluh delapan derajat. Sinar mataharinya seolah menusuk kulit dengan tajam, membuat beberapa tim evakuasi dan relawan memilih menepi sebentar di tempat yang teduh.
Terik itu tidak menganggu semangat Lutfi dalam mencari mama dan adiknya. Dengan peluh yang sudah membanjiri pelipisnya, remaja itu tetap lanjut menggali, mengangkat satu per satu puing-puing bangunan roboh akibat terbawa lumpur.
"Istirahatlah dulu, Fi. Jan terlalu bapaksakan diri, kau bisa pingsan nanti," teriak Pak Tono dengan logatnya. Ia kasian melihat wajah Lutfi yang tampak pucat. Remaja itu menggali dengan tangan kosong dan tanpa penutup apapun dikepalanya. Bisa-bisa pingsan dia kalau terlalu lama terpapar matahari yang panas itu. (Jangan terlalu memaksakan diri)
Lutfi memperlambat gerakannya menggali ketika sebuah topi berhasil melindungi kepalanya dari terik matahari. Itu Bu Ratna, wanita itu menghampirinya lalu dengan tiba-tiba memakaikan topi entah milik siapa padanya.
Bu Ratna tidak berani melarang atau menyuruh Lutfi menghentikan aktivitasnya, sebab dengan melakukan itu mungkin Lutfi bisa sedikit melupakan dukanya. Jadi yang hanya bisa dilakukannya adalah membantu remaja itu dengan caranya.
"Berusaha itu boleh, tapi jangan sampai mengabaikan diri sendiri. Kalau capek, kau boleh istirahat, Fi. Yang sedang kau cari pasti akan menyarankan hal yang sama kalau melihatmu memaksakan diri seperti ini," tutur Wanita itu.