Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #6

6 | Tidak Ada Kembang Api Tahun Ini

Tiga bulan pasca bencana. 

Lutfi menatap nanar sepiring nasi goreng yang berakhir naas berserakan di tanah. Piringnya pecah, nasi dengan lauk telur dadar itu sudah bercampur dengan tanah. Pagi ini, Lutfi berniat memberikan nasi goreng buatan bu Ratna itu untuk Papanya, sayangnya niat itu tidak disambut dengan baik. 

Remaja itu menatap tenda Papanya dengan nanar. Tiga bulan sudah berlalu, Ayahnya masih enggan berinteraksi dengannya. Jangankan berinteraksi, berpapasan saja pria itu tidak mau. 

"Selama jasad mama dan adikmu belum juga ditemukan, saya tidak sudi memaafkan kau, Fi." 

Pernyataan tegas Ayah Lutfi tiga bulan lalu masih setia melekat dikepalanya. Sudah tiga bulan proses evakuasi dilakukan, namun masih banyak korban jiwa yang dinyatakan hilang belum juga ditemukan. Mereka semua terkubur jauh di dalam tanah, butuh waktu yang lama untuk mengevakuasinya. Setelah tiga bulan terkubur di bawah sana, adakah keajaiban mama dan adiknya untuk tetap hidup? Kian hari, Lutfi kian pesimis dengan harapannya itu. 

"Di tolak lagi?" tanya Bu Ratna. Wanita itu membawakan kresek plastik sebagai tempat membuang pecahan piring tadi. 

Lutfi hanya mengangguk lemah, tangannya sibuk memunguti beling-beling piring tersebut agar tidak melukai orang lain yang akan melintas di sana.

Belakangan ini, Bu Ratna banyak membantunya. Tidak hanya membagi makanan dan pakaian yang masih layak pakai, wanita itu juga mengizinkan Lutfi tidur di tenda yang sama dengan Hakim ketika remaja itu diusir dari tenda papanya. Lutfi tidak tahu banyak tentang wanita itu, namun tampaknya Bu Ratna adalah orang yang baik. 

"Tidak apa-apa, besok coba lagi," ujar Wanita itu. Ia menepuk kuat bahu Lutfi seolah menyalurkan kekuatan. 

"Tapi sampai kapan? Sudah tiga bulan, jasad mama sama Lulu belum juga ditemukan. Sudah tiga bulan Papa benci sama saya, sudah tiga bulan kita semua tidur di tenda seperti. Sampai kapan kita akan hidup seperti ini, Bu?" keluh Lutfi. 

Bu Ratna terdiam. Bukannya tidak ingin menjawab, tapi dirinya sendiri tidak bisa menebak sampai kapan mereka akan menjalani hidup seperti itu. 

Bencana besar itu tidak hanya merenggut banyak korban jiwa, tetapi juga merusak banyak rumah warga. Mereka yang rumahnya rusak parah, roboh, dan yang terkubur oleh tanah terpaksa tinggal di tenda pengungsian yang ada. Banyak bantuan kemanusiaan yang datang dari berbagai daerah seperti sembako dan pakaian, mereka merasa sedikit lega dengan itu. 

Tidak hanya rumah, sekolah dan tempat umum lainnya banyak yang rusak. Sejak bencana itu terjadi, semua jenjang sekolah mendadak diliburkan sementara. Tidak hanya kangen rumah, papa, mama, dan adiknya, Lutfi juga rindu berangkat sekolah dan nongkrong bersama teman-temannya.

Bukannya tidak bersyukur, Lutfi hanya terpikir sampai kapan mereka akan hidup seperti itu? Hidup dengan rasa takut bencana besar akan kembali melanda setiap harinya, hidup dengan duka yang berkepanjangan, dan hidup dengan luka yang tidak kunjung pulih. Lutfi berharap hidup yang seperti itu segera berganti menjadi hidup yang layak.

Setelah selesai mengumpul beling dan nasi yang berserakan. Lutfi menatap sejenak tenda Papanya yang tertutup rapat lalu beranjak pergi dari sana. 

"Kasian anak itu, dia pasti banyak pikiran." Bu Ratna bermonolog, wanita itu menatap tenda papa Lutfi dan punggung Lutfi bergantian. "Di saat berduka seperti ini, harusnya mereka saling menguatkan, bukan malah melempar kebencian," lanjutnya, wanita itu menghela napas ketika melihat punggung Lutfi yang menjauh dan hilang di belokan.  

*****

Malam ini adalah malam terakhir di bulan Desember tahun 2018. Artinya, besok sudah masuk tahun baru dan bulan baru. Perayaan malam tahun baru umumnya dimeriahkan dengan petasan atau kembang api yang diluncurkan tepat tengah malam. Atraksi kembang api yang menghiasi langit malam tahun baru bukan hanya sekedar kebiasaan tapi sebagai bentuk pelepasan tahun yang lama dan penyambutan untuk tahun yang baru.

Lihat selengkapnya