Kadang, manusia terlalu betah mengenang luka, sampai mengabaikan bahagia yang harusnya masih tersisa.
*****
Tangan kanan milik pria berbadan besar itu menarik kerah baju Lutfi dengan paksa, sedang tangan kirinya membawa sebuah ransel yang isinya penuh dengan pakaian milik Lutfi.
"Pa, maafkan Lutfi. Maafkan saya, Pa!" Lutfi terus merapalkan kata maaf, tapi tak dihiraukan oleh pria itu.
Remaja laki-laki itu tidak menangis, meskipun hatinya sudah hancur berkeping-keping sekarang. Sudah sembilan bulan, sikap papanya masih dingin seperti ini padanya. Entah apa yang bisa dilakukannya untuk mendapatkan maaf pria itu.
Ketika sampai di depan rumah itu, Bagas menghempas tubuh Lutfi dengan kasar hingga remaja itu tersungkur di atas tanah. Tas ransel yang tadi dibawanya menyusul dilempar ke samping Lutfi.
"Saya tidak mau tinggal satu rumah dengan pembunuh." Kalimat itu terlontar sangat ringan dari bibir Bagas. Hati Lutfi selalu mencelus tiap papanya menyebutnya sebagai pembunuh mama dan adiknya.
Tapi Lutfi tidak menyerah, dengan gerakan cepat dia menahan lengan papanya yang hendak berbalik badan meninggalkannya.
"Pa, maafkan saya. Saya tidak punya siapa-siapa selain papa, saya tidak punya tempat tinggal lain." Lutfi kini mengubah posisinya menjadi berlutut di depan papanya, tidak peduli jika dirinya sekarang sudah menjadi tontonan tetangga kompleknya. Keributan mereka mengundang perhatian banyak mata.
Tidak menerima respon dari papanya, Lutfi kembali bersuara, "Saya janji tidak menyusahkan papa, saya tidak masalah papa marah tiap hari, asalkan izinkan saya tinggal di sini," mohonnya.
"Kau mau tinggal di sini?"
Pertanyaan dari Bagas langsung dibalas anggukan kepala dari Lutfi.