Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #9

9 | Belum Terbiasa

Bukan belum terbiasa, tapi menolak untuk terbiasa.

*****

Dulu, kalau Sabita kehilangan sebelah kaus kakinya saat terburu-buru berangkat sekolah, Bundanya dengan ajaib akan menemukan benda itu dengan cepat untuknya. Dulu, tiap Sabita menolak melahap sarapannya pagi-pagi, omelan Ayahnya seperti alarm yang selalu mengingatkannya bahwa sarapan penting tidak hanya untuk perut tapi juga untuk otaknya. 

Kini, ketika kehilangan sebelah kaus kakinya, Sabita harus berusaha sendiri mencarinya. Kini, maag Sabita jadi sering kambuh karena terus melewatkan sarapannya. Bukan karena dia sengaja melewatkannya, tapi karena sudah tidak ada lagi Ayahnya yang mengingatkannya. 

Dia, belum terbiasa akan kehilangan yang mendadak itu. Tidak, sepertinya bukan belum tapi tak ingin. Ya, dia tak ingin terbiasa dengan itu. 

Gadis dengan rambut panjang itu menatap pantulan dirinya yang tampil di cermin dengan tinggi yang hampir sama dengannya. Setelan seragam putih abu-abu sudah melekat sempurna di badannya, artinya dia sudah siap berangkat sekolah. 

Setelah lima bulan diliburkan, dan empat bulan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di bawah tenda darurat, akhirnya beberapa sekolah di Kota Palu yang bangunannya aman dari kerusakan akibat gempa kemaren, diperbolehkan kembali melaksanakan kegiatan pembelajaran di dalam ruangan. Sedangkan sisanya, masih menggunakan tenda hingga bangunan sekolah mereka selesai di renovasi. 

Bangunan sekolah lama Sabita sebenarnya baik-baik saja, namun lokasinya terlalu jauh dari tempatnya mengungsi kemaren. Jadi, Bu Ratna memindahkannya di sekolah negeri yang lebih dekat dari pengungsian dan rumah yang ditempatinya sekarang. Tidak hanya dia, Lutfi juga dipindahkan. Mereka sekarang bersekolah di tempat yang sama. Kalau Sabita berada di kelas sepuluh, Lutfi berada di kelas dua belas. 

Gadis itu meliriknya jam berbentuk lingkaran yang menempel di dinding kamar sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, artinya dia harus segera berangkat. 

"Sabita, tidak mau sarapan dulu?" teriak Bu Ratna, ketika melihat Sabita yang sudah keluar kamar dan siap untuk berangkat sekolah.  

Ini kali pertamanya diingatkan sarapan, bukan oleh ayahnya tapi oleh Bu Ratna. Sabita menoleh ke arah dapur, tepatnya ke meja makan yang dipenuhi oleh tiga manusia di sana. Ada Bu Ratna, Lutfi dan Hakim. 

"Tidak, terima kasih," tolak gadis itu. Dia hendak melanjutkan langkah, namun suara Hakim kembali menahannya. 

"Sini sarapan dulu, Ta. Kau tidak tunggu Lutfi? Kalian kan satu sekolah, tidak mau berangkat bersama?" tanya Hakim. 

Sabita mendengus kesal. "Kita nggak terlalu dekat untuk sarapan dan berangkat bersama, kan?" balas gadis itu, lalu melenggang begitu saja ke luar rumah. 

Hakim terdiam mendengar itu, sebuah perasaan aneh menjalar dihatinya. Bukan karena sedih atau marah dibalas seperti itu oleh Sabita, melainkan karena rasa penasaran. Sejak menyelamatkan diri bersama dari tsunami itu, sejak tinggal bersama dengan Bu Ratna di tenda pengungsian, Sabita selalu tidak suka jika berinteraksi dengannya. Mengapa demikian? Apakah ada perbuatan Hakim yang menyinggung gadis itu?

Melihat perubahan pada ekspresi yang tampil di wajah Hakim, Bu Ratna kembali membuka suara untuk mencairkan suasana. 

"Sabita pasti masih menganggap kita orang asing yang tinggal serumah dengannya. Dia belum terbiasa, jadi maklumi saja kalau seperti itu, ya?" ujar wanita itu. 

Lihat selengkapnya