Setelah berdebat tadi malam dengan Hakim, Sabita masih setia mengurungkan dirinya sendiri di kamar. Bahkan gadis itu sampai melewatkan sarapan dan makan siangnya.
Bu Ratna sudah beberapa kali mondar-mandir di depan kamar gadis itu dan mengajaknya keluar untuk makan, namun Sabita bergeming tak kunjung keluar menampakkan batang hidungnya.
"Masih merajuk dia, Bu?" Pertanyaan itu berasal dari Hakim. Karena ini hari Sabtu, jadwalnya laki-laki itu masuk kerja pada shift malam. Siang ini Hakim akan digunakan Hakim untuk menjenguk Mamanya di rumah sakit.
Wanita itu menghela napas, lalu mengangguk sebagai respon. "Sabita belum makan sejak tadi pagi. Bujuk sana, Kim. Tidak baik serumah saling musuh begini," saran Bu Ratna.
"Lutfi kemana? Coba dia yang bujuk siapa tau berhasil." usul Hakim.
"Lutfi sedang ke rumah papanya mengantarkan lauk makan siang. Kau saja yang bujuk." Bu Ratna masih ingin Hakim yang melakukannya.
Hakim memandang pintu kayu kamar Sabita yang tertutup rapat. Perkataan gadis itu semalam tentang dirinya yang tidak suka melihat Hakim terus berputar di kepala laki-laki itu. Dia benar-benar ingin tahu mengapa Sabita sangat tidak suka padanya. Kalau memang ada sikap atau perkataannya yang pernah menyinggung gadis itu, Hakim ingin meminta maaf dan memperbaikinya.
"Bukannya tidak mau berbaikan dengan Sabita, Bu, tapi saya tidak yakin kalau Sabita akan keluar kamar jika saya yang bujuk. Karena tadi malam dia mengatakan tidak suka melihat saya," jawab Hakim.
"Ibu yakin Sabita tidak bermaksud mengatakan itu, dia hanya sedang kesal tadi malam." Bu Ratna mencoba menengahi kesalahpahaman yang terjadi antara Sabita dan Hakim. "Kenapa tidak kau coba bujuk dulu, Kim, siapa tau sekarang kesalnya sudah reda."
Meskipun sedikit ragu, Hakim melakukan saran Bu Ratna yang menyuruhnya berbaikan dengan Sabita.
Sampai di depan pintu kamar Sabita, itu, laki-laki itu mengetuk pintu kayu tersebut dengan pelan. Masih tidak ada respon, Hakim kembali mengetuk.
"Siapa?!" teriak Sabita dari dalam sana.
Hakim berdehem, entah kenapa dia merasa gugup. Berhadapan dengan Sabita yang punya suasana hati sensitif membuatnya berdebar seperti hendak melakukan wawancara kerja.
"Saya, Hakim," jawab laki-laki itu pelan namun masih bisa di dengar Sabita.
"Mau apa lagi? Belum cukup marahin aku semalam?" balas gadis itu, nada suaranya terdengar sama ketusnya dengan yang semalam.
"Tadi malam saya bukan marah Sabita, melainkan khawatir. Kalau itu buat kay tersinggung, saya minta maaf." Hakim menjeda sebentar untuk menyiapkan kalimat yang lebih persuasif agar gadis itu mau keluar kamar. "Bu Ratna masak kaledo hari ini, enak sekali, kau yakin tidak mau coba?"
Hening, belum ada sahutan lagi dari dalam sana. Hakim tersenyum di depan pintu kayu itu, dia yakin Sabita sudah ingin keluar ketika mendengar Kaledo, masakan khas kota Palu disebut.
Dulu Sabita mencoba makanan itu untuk pertama kalinya bersama Ayah dan Bundanya. Sop daging dengan kuah asam pedas yang khas itu adalah makanan yang paling orang tuanya sukai sejak pindah ke kota ini. Sabita ingin merasakan makanan itu lagi, itu akan terasa seperti dia makan bersama Ayah dan Bundanya.
"Aku mau keluar, tapi malas kalau bertemu kamu. Aku lagi nggak mood liat kamu," ujar gadis itu.
Pernyataan itu mengundang gelak tawa Hakim, namun laki-laki itu menahannya. "Saya mau ke rumah sakit sekarang, tidak perlu khawatir ketemu saya. Jadi berhenti mengurung diri di kamar," balasnya.