Hari minggu ini, rumah Bu Ratna kedatangan tamu dari Yayasan yang dulu mendanai rumah panti yang dikelolanya. Setelah sembilan bulan berduka dan berpikir, Bu Ratna merasa perlu membangun kembali Rumah Panti Asuhan Harapan nya yang hirap bersama bencana besar kemaren.
Rasa bersalah kepada anak pantinya yang menjadi korban jiwa bencana tersebut masih membekas di hati wanita itu, namun melihat Sabita, Lutfi dan Hakim yang tidak punya tempat tujuan setelah kehilangan rumah dan keluarga menjadi alasan Bu Ratna ingin mendirikan kembali panti asuhan tersebut. Tujuannya tentu saja untuk merangkul lebih banyak anak-anak seperti Sabita, Lutfi dan Hakim.
Kabar tersebut Bu Ratna sampaikan juga kepada Yayasan dan disambut dengan baik oleh mereka. Pertemuan hari ini adalah untuk membahas kontrak kerjasama mereka lebih lanjut.
Melihat Bu Ratna yang sedang sibuk dengan tamu-tamunya, Hakim mengurungkan niat untuk menyampaikan sesuatu pada wanita itu.
Kemaren ketika pergi ke rumah sakit untuk menjenguk mamanya, hati Hakim akhirnya tergerak melakukan pemeriksaan rujukan setelah sebelumnya dia tunda. Nyeri di dadanya makin sering muncul, dia juga jadi sering lelah meskipun hanya melakukan pekerjaan ringan di Cafe.
Hasilnya, sedikit mencengangkan bagi Hakim. Untungnya, penyakitnya belum terlalu parah. Laki-laki itu sudah punya keputusan akan bagaimana untuk mengobati penyakitnya itu, tapi dia tetap butuh masukan dari Bu Ratna.
Tapi sepertinya tak bisa hari ini karena wanita itu sedang sibuk, jadi Hakim akan menyampaikan lain kali saja.
Hakim kembali ke kamar untuk bersiap berangkat kerja, hari ini dia masuk shif malam lagi. Karena rumah ini kamarnya tidak banyak, Hakim dan Lutfi tidur di kamar yang sama. Di kamar itu dia mendapati Lutfi sedang melamun di depan meja belajarnya. Remaja itu tadi mengatakan hendak mengerjakan tugas sekolah, buku tulisnya yang terbuka masih kosong, pulpen di tangan hanya dia putar-putar tidak jelas. Waktu lebih banyak di habiskan Lutfi untuk melamun daripada menuntaskan tugasnya.
"Sedang pikirkan apa, Fi? Serius sekali saya liat," imbuh Hakim membuyarkan lamunan Lutfi.
Remaja itu sedikit tersentak karena Hakim yang tiba-tiba muncul. Dia memperbaiki posisi duduknya dulu sebelum membalas ucapan Hakim. "Sedang memikirkan hidupku yang entah akan bagaimana kedepannya."
Hakim sudah di depan lemari sekarang, menyimak ucapan Lutfi sambil memilih baju yang akan digunakannya bekerja malam ini. "Tentang Papamu, ya? Ada masalah?" tanya Hakim tepat sasaran.
"Kau butuh teman cerita? Kalau butuh tempat cerita saya selalu bersedia mendengarkan, jadi jangan sungkan," lanjut Hakim.
Lutfi membalikkan tubuhnya yang semula membelakangi Hakim. Remaja itu menatap punggung Hakim dengan sedikit ragu. Dia sebenarnya ingin sekali menceritakan semuanya, namun bibirnya terasa kelu untuk berucap.
Merasa diperhatikan, Hakim ikut membalikkan badan dan mendapati Lutfi yang sedang menatapnya lekat. "Kenapa? Mau cerita sekarang?" tanya laki-laki itu.
Lutfi menggelengkan kepala. "Tidak, nanti saja," jawabnya.
Melihat raut wajah aneh yang ditampilkan Lutfi, Hakim bertanya lagi. "Oke, tapi, kau baik-baik saja kan, Fi?"
"Harusnya saya yang tanya begitu, Ka Hakim baik-baik saja? Kakak selalu terlihat pucat, ada yang sakit?" Lutfi balik bertanya.
"Saya baik-baik saja, ini hanya kecapekan bolak-balik Cafe dan rumah sakit tiap hari." Hakim menjawab dengan cepat.
Karena selalu melihat Hakim yang ceria, Lutfi hampir lupa bahwa Hakim juga punya masalahnya sendiri. Meskipun jarang memperlihatkannya, Lutfi tau jika laki-laki sedih. Hampir sepuluh bulan menunggu mamanya yang koma, siapapun yang berada di posisi Hakim pasti selalu diliputi rasa sedih dan khawatir.
"Kalo Kak Hakim butuh bantuan jangan sungkan juga bilang ke saya. Saya akan bantu sebisa saya, Kak," tutur Lutfi.
Hakim tersenyum mendengarnya. Hidup, memang tidak pernah bisa diprediksi. Siapa sangka Lutfi yang dulunya orang asing baginya kini memainkan peran adik-kakak bersamanya.