Sabita menatap Hakim yang masih terbaring tidak sadarkan diri di salah satu brankar Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Pelita. Dua laki-laki rekan kerja Hakim dan Nanda tadi ikut mengantar ke rumah sakit, namun ketiganya sudah pamit duluan karena harus melanjutkan kerja dan Nanda ada urusan lain, jadi tinggal lah Sabita seorang diri di sana.
Ini kali pertama Sabita melihat Hakim terbaring kesakitan. Di rumah yang ditinggali empat manusia yang terluka itu, Hakim yang paling terlihat baik-baik saja.
Sabita mengaku tidak menyukai Hakim bukan tanpa alasan. Saat pertama kali bertemu, dia mengandalkan semuanya pada Hakim. Tempat untuk menyelamatkan diri dari tsunami yang mengejar mereka, janji bahwa setelah itu mereka akan mencari keluarga mereka sama-sama, dan keputusan untuk tinggal bersama Bu Ratna.
Namun semenjak kehilangan orang tuanya, Sabita menyalahkan Hakim yang membantunya selamat. Gadis itu pikir harusnya saat itu Hakim tidak perlu membantunya kabur dari tsunami, harusnya biarkan saja dia tergulung oleh ombak yang sama merenggut orang tuanya. Mungkin dengan begitu Sabita tidak akan hidup dalam diliputi rasa bersalah ini sekarang juga tidak dibenci dan ditinggalkan oleh dua saudaranya.
Rasa benci itu kian bertambah ketika mendengar kabar Mama Hakim yang selamat. Sabita merasa seolah semesta hanya berpihak pada Hakim.
Itu sebabnya, ketika melihat Hakim yang selalu ceria, bersedia mendengarkan keluhnya, dan menyebutnya sebagai keluarga, Sabita akan kesal. Menurutnya Hakim tidak merasakan duka yang sama seperti Sabita, jadi tahu apa dia soal berduka?
Setelah mendengar diagnosis penyakit yang diderita Hakim dari dokter, Sabita merasa bersalah pada laki-laki itu. Sepertinya ketidaksukaan Sabita pada Hakim sebenarnya karena dia iri. Iri bahwa keberuntungan lebih banyak di pihak laki-laki itu.
Manusia punya takdirnya masing-masing, menghakimi siapa yang paling menyedihkan takdirnya bukan hak manusia lain. Sebab biasanya yang kita lihat setiap hari, belum tentu menggambarkan keadaan keseluruhan seseorang. Selalu baik-baik saja bukan berarti karena lukanya tidak seberapa, tapi cara orang itu menutupinya yang luar biasa.
Setelah hampir empat puluh menit tidak sadarkan diri, akhirnya mata Hakim terbuka perlahan. Laki-laki itu mengerjap beberapa kali untuk menormalkan pandangannya yang memburam. Setelah normal kembali, Hakim menoleh ke samping dan mendapati Sabita yang duduk di sisi kanan brankarnya seraya melamum.
"Ta?" panggil laki-laki itu.
Sabita sedikit terkejut mendengar suara Hakim, namun sedetik kemudian dia bernapas lega karena akhirnya laki-laki itu sadar.