Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #16

16 | Perlahan Membaik

Menghabiskan sepanjang malam untuk menangisi hidupnya, pagi ini kelopak mata yang sembap menghiasi wajah Sabita. Gadis itu menangis bukan karena komentar yang kakaknya beri pada postingannya, tapi karena luka rasa bersalah yang tak kunjung pulih di hatinya. Rindu juga menggerogotinya setiap malam, membawanya berkelana mengenang masa lalu ketika Sabita, Ayah, Bundanya dan kedua kakaknya masih di momen bahagia. 

Namun sejauh apapun kita berkelana untuk mengenang, masa lalu tetaplah masa lalu. Hidup terus mendorong kita berjalan menuju masa depan, meskipun enggan, kita harus tetap melangkah. 

Gadis itu menatap pantulan wajahnya di cermin, melatih senyum cerah yang akan ditampilkannya pagi ini. Setelah siap dengan seragamnya, gadis itu keluar kamar untuk sarapan dan menunggu Nanda yang semalam berjanji akan menjemputnya untuk berangkat sekolah bersama. 

Menu andalan disajikan Bu Ratna untuk sarapan adalah nasi goreng dengan toping telur dadar. Karena selain bahannya yang simpel, membuatnya tidak membutuhkan waktu yang lama. 

Di meja makan yang memang di sediakan untuk empat orang, hanya diisi Sabita dan Bu Ratna pagi ini. Hakim masih di dalam kamar sedangkan Lutfi sudah berangkat lebih dulu katanya. 

"Kamu baik-baik saja, Ta?" tanya Bu Ratna. Meskipun susah payah di tutupi dengan senyuman, mata sembab Sabita tidak bisa berbohong. 

"Oh maksud Ibu, ini?" Sabita menunjuk matanya menggunakan jari telunjuk, lalu berkata lagi, "Ini sembab karena nangisin drama korea yang aku nonton, Bu, dramanya sedih banget. Aku baik-baik aja," bohong gadis itu. 

Bu Ratna tau Sabita sedang berbohong, tapi wanita itu tidak ingin memaksanya untuk jujur. Sabita akhirnya mau menerima mereka sebagai keluarga sudah lebih dari cukup, wanita itu tak ingin memaksa Sabita untuk terbuka soal perasaannya juga. 

Setelah menghabiskan sarapannya, Sabita beranjak dari duduknya untuk pamit karena Nanda mengatakan sudah menunggi di luar rumah. Gadis itu menyalami punggung tangan Bu Ratna, lalu berjalan menuju kamar Hakim untuk pamit pada laki-laki itu juga. Namun secara kebetulan, laki-laki itu sudah muncul di balik pintu kamarnya. 

Hakim menahan Sabita yang hendak salaman sebentar. Laki-laki itu kembali ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu, dan kembali dengan cepat. 

Dia menyerahkan selembar uang kertas berwarna biru pada Sabita. 

"Buat jajan," kata Hakim. 

Merasa tidak enak, Sabita berusaha menolak dengan sopan. "Jangan repot-repot Kak Hakim."

"Sejak kerja, saya memang pengen sesekali bisa kasih uang jajan buat kau dan Lutfi, buat adik-adikku," ungkap Hakim. 

Hati Sabita tersentuh mendengar kata 'adik' yang dilontarkan Hakim. Andai dia sadar lebih awal jika laki-laki itu tulus menganggap dirinya yang notabenenya hanya orang asing sebagai adiknya, Sabita tidak akan bersikap kasar dan terlalu membenci Hakim seperti yang dilakukannya dulu.

Rasa sedih dan rindu Sabita terhadap sosok kakak sedikit terobati dengan kehadiran Hakim. 

"Makasih banyak, Kak Hakim," tutur gadis itu tulus. 

*****

"Meja nomor dua belas pesan Caramel Mochiato Ice satu, Aul," ujar Hakim pada Aulia, seorang staf kitchen yang juga merangkap sebagai barista di Cafe tempatnya bekerja. 

Mendengar itu, Aulia dengan telaten mulai menyajikan pesanan tersebut. Sembari menunggu pesanan meja nomor dua belas jadi, Hakim memilih duduk di salah satu bangku Cafe yang kosong.

Lihat selengkapnya