Ketika membuka pintu, Sabita sontak terkejut dengan apa yang dilihatnya di kamar. Degup jantung gadis itu berpacu dengan cepat dan bulir bening mulai menumpuk di pelupuk matanya.
"Apa yang kalian lakukan?"
Sudah dari dulu, jika ada anak panti yang berulang tahun, Bu Ratna sebagai ibu asuh mereka akan mengupayakan merayakan hari bahagia anak-anak pantinya meski hanya peryaaan kecil-kecilan. Hal itu berlaku untuk semuanya, termasuk untuk Sabita yang baru bergabunglah manjadi keluarga di rumah pantinya. Itu sebabnya, sejak tadi sore Bu Ratna memang sudah merencanakan kejutan kecil-kecilan itu untuk Sabita.
Atas bantuan Lutfi, Hakim, dan anak-anak panti yang lain, mereka melakukan dekorasi ulang tahun sederhana di kamar Sabita. Balon huruf yang di susun menjadi kata HBD Sabita menempel di dinding dan di kelilingi rumbai-rumbai berwarna gold agar hiasannya sedikit lebih meriah.
Di dalam kamar Sabita yang temaram itu, dua buah lilin berbentuk angka satu dan tujuh menyala terang di atas cake yang terbalut oleh lelehan coklat.
Sabita menatap mereka satu-persatu. Bu Ratna, Lutfi, Hakim, dan beberapa anak panti yang masih terjaga malam ini semuanya menyambutnya dengan senyum hangat, senyum yang seolah menular hingga membuat gadis itu ikut tersenyum.
"Happy sweet seventeen, Sabita," tutur Bu Ratna yang berdiri di tengah Hakim dan Lutfi.
Kue ulang tahun yang di pegang Bu Ratna tampak lezat. Kue itu sudah wanita pesan sejak tiga hari lalu, di toko kue milik temannya.
Tak kuasa lagi menahan haru, bulir bening yang tadi menumpuk di matanya akhirnya luruh. Gadis itu sedikit terisak, kali ini bukan idaman sedih melainkan isak tangis bahagia.
Dulu, Sabita memimpikan pesta sweet seventeen yang meriah. Yang dihadiri Ayah, Bunda, dua kakaknya, dan teman-teman sekolahnya. Namun sejak duka ini melanda, Sabita di paksa untuk bangun dari mimpi indahnya.
Gadis itu pikir, tidak satupun kecuali dia yang ingat hari ini, tidak akan ada perayaan meskipun kejutan kecil. Keluargannya yang berada di pulau yang berbeda dengannya tak menghubungi, bahkan pesan singkat pin tidak ada. Jadi Sabita berencana melewati hari spesialnya itu seperti hari-hari biasanya.
Namun orang-orang yang tinggal satu rumah dengannya selama sepuluh bulan terakhir melakukan itu untuknya.
"Aduh kenapa jadi nangis, ini hari bahagiamu padahal," ujar Hakim, mencoba mencairkan suasana.
"Ayo make a wish, Ta," suruh Bu Ratna. Wanita itu mengikis jarak untuk mendekatkan kue ulang tahun ke posisi Sabita.
Sebelum lilin di atas Birthday Cake itu meleleh lebih banyak, Sabita mulai memanjatkan harapan. Setelah di rasa cukup, gadis itu membuka matanya yang tadi terpejam lalu meniup lilin itu hingga padam.
Gadis itu tersenyum memandang mereka, terutama untuk Bu Ratna, Hakim, dan Lutfi. Dia bersyukur di tengah duka yang bencana itu sisakan untuknya, masih ada orang baik seperti mereka yang mau menerima dan melindunginya sebagai keluarga.
"Ini hadiah dari saya, Ta. Maaf hanya bisa beri ini." Lutfi menyerahkan Paper Bag berisi sebuah novel.
Mata Sabita berbinar membaca judul pada novel tersebut. Novel ini adalah salah satu novel yang selalu tidak sempat dia beli. "Wah, dari dulu aku pengen banget baca novel ini. Makasih ya, Fi," ungkap gadis itu.
Setelah Lutfi, kini giliran Hakim yang memberikan hadiah darinya. Laki-laki itu juga menyerahkan sebuah kotak yang dilapisi kertas kado bermotif bunga pada Sabita. Gadis itu tetap antusias seperti tadi ketika membuka hadiah dari Hakim.
Ternyata hadiah dari Hakim adalah sepasang sepatu berwarna putih. Sabita segera mencobanya dan ukurannya sangat pas dengan ukuran kakinya.
"Pas banget ukuran sepatunya, Kak. Makasih ya, bakal aku pakai dan rawat dengan baik," tutur gadis itu.