Lutfi menatap potongan Birthday Cake Sabita dalam piring yang dipegangnya. Setelah makan siang bersama tadi, Bu Ratna menyuruhnya mengantar sepotong kue itu untuk Papanya. Jadi di sinilah dia sore ini, di depan rumah Bagas, Papanya.
Namun mengingat bagaimana pria itu membuang semua pemberiannya, Lutfi jadi ragu kue ini ikut berakhir sama. Tapi mau bagaimanapun reaksi Papanya, Lutfi tetap harus mengantarkan pemberian Bu Ratna. Dengan hati-hati, remaja itu mulai mengetuk pintu rumah.
Tumben sekali hanya pada dua ketukan pertama, pintu itu sudah terbuka. Bau alkohol menyeruak ke Indra penciumannya, persis seperti terakhir kali remaja itu berkunjung ke rumah ini.
Semalam, apakah Papanya mabuk-mabukan lagi?
"Kenapa kau muncul lagi, pergi sana anak sialan," hardik Bagas, lalu berniat menutup kembali pintu rumahnya.
Untungnya gerakan Lutfi lebih cepat, remaja itu berhasil menahan Papanya yang hendak menutup itu.
Bagas berdecak kesal, pria itu berusaha melepaskan tangan Lutfi yang menahan pintunya. Sayangnya karena belum sepenuhnya sadar, tenaganya tidak cukup kuat menahan Lutfi.
"Kau mau apa?!" marah pria itu.
"Saya mau kasih ini, lalu bicara sebentar sama papa," jawab Lutfi.
Pria itu masih berusaha mengusirnya. "Saya tidak mau, pergi sana!"
Lutfi juga sama, remaja itu tetap tidak mau bergerak dari tempatnya. Dia ingin membahas perubahan sikap Papanya yang makin hari makin jauh dari dirinya yang dulu. "Sebentar saja, Pa. Ayo mengobrol sebentar saja, sepuluh menit," pintanya.
Masih di posisi menahan dan mendorong pintu, dua orang itu beradu tatap. "Apa yang kau mau bicarakan? Apa kau sudah menemukan jasad mama dan adikmu? Kalau bukan tentang itu, tidak ada yang perlu kita bicarakan," ujar Bagas.
"Harus tentang itu, ya, kalau mau bicara sama Papa?" Lutfi menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan kalimatnya. "Saya tidak dibolehkan mengobrol soal rindu, soal sepi, dan soal sakit yang saya derita sendirian selama ini?"
"Tidak usah lebay kau. Pergi! Saya malas mengurusi drama mu itu!"
"Pa!" bentak Lutfi.
Bagas yang mendengar itu sempat terkejut, namun kembali memasang ekspresi marah diwajahnya. Pria itu membuka pintunya lebar-lebar lalu mendorong Lutfi agar menyingkir dari sana.
Dorongan itu lumayan kuat hingga berhasil membuat Lutfi tersungkur ke lantai. Cake yang dipegangnya tadi ikut terjatuh, piringnya pecah dan berserakan di lantai teras rumah Bagas.
"Selain egois ternyata kau tidak punya sopan santun, berani sekali membentak orang tua!"
Lutfi terdiam, namun dalam hatinya remaja itu mengeluh. Orang tua katanya? Pria itu masih menganggap dirinya sebagai orang tua namun membenci dan mengusir anaknya? Lucu sekali.
Remaja itu menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan kasar. Lutfi berusaha meredamkan emosinya.
"Bereskan kekacauan yang kau buat ini, jangan datang ke rumah ini, saya tidak mau menerima tamu seperti kau," tutur Bagas.
"Saya akan tetap datang," balas Lutfi.