Hakim berlari dengan tergesa-gesa melewati lorong-lorong rumah sakit menuju ruang inap mamanya. Napasnya memburu, jantungnya berdegup sangat kencang, kepalanya dikerubungi cemas yang berlebihan saat ini. Dibelakang ada Lutfi dan Sabita yang mengikutinya sampai ke rumah sakit.
Sebelumnya pihak rumah sakit memberi kabar pada Hakim lewat panggilan suara. Mereka mengabarkan bahwa kondisi Mama Hakim mendadak menurun hingga mengalami henti jantung. Mendengar kabar buruk itu, dengan segera Hakim ditemani Lutfi dan Sabita bergegas berangkat ke rumah sakit.
Pintu ruangan itu di buka dengan kasar oleh Hakim, begitu pintu terbuka, netranya langsung menangkap seorang dokter dan tiga perawat mengerubunginya.
Kaki Hakim yang sudah terasa lemas, bergerak pelan mendekati ranjang mamanya yang terletak paling ujung.
dr. Anita sedang berkutat dengan Defibrillator Manual, alat yang digunakan ketika seseorang yang mengalami masalah pada irama jantungnya, seperti ritme jantung yang tidak normal hingga henti jantung. Sejak kedatangan Hakim terhitung waktu sudah berlalu lima belas menit, namun alat itu belum juga berhasil mengembalikan detak jantung mama Hakim.
Tiga perawat yang ada di sekitar ranjang Mama Hakim kompak menunduk, mereka semua terlihat sedih. Terutama dr. Anita, dokter perempuan itu membalikkan badan dan menatap Hakim dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Yang tabah ya, Kim." Hanya itu yang mampu diucapkan dr. Anita pada Hakim.
Mendengarnya, sekujur tubuh Hakim terasa lemas seketika. Apalagi ketika mengetahui penyebab Mamanya meninggal. Kondisi Sinta yang makin membaik setiap harinya membuat Hakim optimis wanita itu akan segera sadar. Saking senangnya, Hakim jadi lupa, bahwa mamanya juga mengidap penyakit jantung.
dr. Anita dibantu tiga perawat tadi mulai melepas alat-alat yang selama ini menempel di tubuh Sinta dan membantu wanita itu bertahan.
Tangis Hakim pecah ketika kain putih mulai menutupi hampir seluruh tubuh mamanya, kecuali wajah. Tangannya terulur menyentuh telapak tangan Mamanya yang sudah kaku namun masih terasa hangat. Ditatapnya wajah yang selalu damai itu, mamanya terlihat seperti sedang tidur saja, wanita itu benar tidur, tidur untuk selamanya.
"Ma," panggil Hakim disela isak tangisannya. "Mama kenapa tiba-tiba pergi? Saya sudah tunggu mama selama ini bukan untuk melihat mama pergi tanpa pernah menatap saya lagi," lanjut laki-laki itu.
Tangan keriput wanita itu Hakim cium dengan penuh sayang. Ada banyak hal yang ingin dilakukannya bersama Sinta, ketika mamanya sudah sadar dari koma dan pulih. Belum banyak hal baik yang dicapai Hakim untuk membuat wanita itu bangga dalam hidupnya, namun mamanya tidak memberikan Hakim kesempatan untuk mencapai hal-hal baik itu untuknya. Dan, masih banyak cerita yang ingin Hakim sampaikan secara langsung, namun Sinta tak memberinya waktu lebih banyak untuk Hakim menceritakannya.
Hanya ada satu kalimat yang tersisa di kepala Hakim sekarang. Akan bagaimana hidupnya tanpa mamanya nanti?
Dibelakang Hakim, ada Lutfi dan Sabita yang juga sudah tidak kuasa menahan tangis mereka. Tidak ada Hakim yang selalu ceria yang mereka lihat saat ini, hanya ada sisi rapuh Hakim yang selama ini tak pernah laki-laki itu tunjukkan.