Sudah lima hari berlalu, Hakim masih betah berdiam diri di kamar memeluk erat dukanya. Yang dilakukannya di dalam sana hanya merenung, memikirkan harus seperti apa dia dalam melewati hari-hari yang akan datang.
Kondisi kesehatan Hakim juga kian menurun karena sering terlambat mengkonsumsi obat, membuat sesak di dadanya jadi lebih sering datang. Hakim bukan hanya mengabaikan dirinya sendiri, tapi juga orang-orang disekitarnya.
Dia bahkan absen kerja berhari-hari, membuat beberapa rekannya sampai datang menjenguk untuk mengetahui kabar Hakim. Namun kunjungan dari rekannya pun tak berhasil membuat Hakim tergerak untuk berhenti mengurung dirinya sendiri. Satu-satunya tempat yang dikunjungi Hakim adalah makam Mamanya. Remaja laki-laki itu berziarah kesana setiap dua hari sekali pada pukul empat sore.
Sudah lima hari ini, Sabita bertugas mengantarkan makanan ke kamar Hakim pada waktu makan malam. Untuk memastikan Hakim tidak melewatkan jam makannya, beberapa manusia yang serumah dengannya membagi jadwal mengantarkan makanan untuk remaja itu. Mereka adalah orang-orang yang paling dekat dan yang paling peduli dengannya, siapa lagi kalau bukan Lutfi, Sabita, dan Bu Ratna. Lutfi mengantarkan makanan diwaktu sarapan, Bu Ratna diwaktu makan siang dan Sabita diwaktu makan malam.
Hanya cara itu yang dapat mereka lakukan agar Hakim tetap sehat, meskipun Hakim memilih untuk mengurung diri di kamar, dia tidak boleh melewatkan jam makan.
Tugas mereka tidak sekedar mengantarkan makanan, tapi juga memastikan Hakim memakannya. Itu sebabnya Sabita tidak beranjak dari kamar Hakim sekarang, dia akan menunggu sampai Hakim menyentuh menu makan malamnya.
"Kalian tidak bosan mengantarkan dan menunggu saya makan seperti ini?" tanya Hakim, suaranya terdengar lemah.
Sabita menatap Hakim yang sedang menatap kosong ke arah dinding. Bukannya menjawab, gadis itu malah balik bertanya, "Kak Hakim sendiri tidak bosan mengurung diri sendiri di kamar selama lima hari ini?"
"Saya butuh istirahat," jawab laki-laki itu.
"Ini bukan istirahat, tapi kakak sedang menyiksa diri kakak sendiri," balas Sabita dengan cepat.
Kematian memang perpisahan yang paling berat untuk mereka yang ditinggalkan, sebab, melanjutkan hidup tanpa kehadiran orang-orang itu rasanya hampa dan menyiksa bahkan kadang mampu merenggut semangat mereka yang masih hidup untuk terus melanjutkan hidup.
Namun, manusia harus tetap hidup sampai masa waktu yang telah ditentukan Tuhan untuknya, jadi seberat apapun duka itu, melanjutkan hidup adalah satu-satunya pilihan.
Pilihan itu dijalani dengan cara yang berbeda-beda, tergantung pada individunya. Ada yang melanjutkan hidupnya dengan cara berdamai dengan dukanya, ada juga yang membuat duka itu membunuhnya pelan-pelan setiap harinya. Seperti yang dilakukan Hakim saat ini.
Sabita pernah di posisi Hakim, gadis itu juga pernah merasakan bagaimana dia harus tetap melanjutkan hidup bahkan ketika dunianya terasa runtuh. Dia pernah mengunci diri sendiri di ruangan gelap dalam kepalanya dan memeluk duka itu sendirian, berharap dia juga segera menghilang dari kehidupannya yang berat.
Tapi tekad orang-orang baik disekelilingnya mampu membuka pintu ruangan gelap itu dan mengulurkan tangan untuk menariknya keluar dari sedih yang disimpannya sendiri selama ini. Itulah yang Bu Ratna dan Hakim lakukan dulu untuknya. Jadi sekarang, biarkan Sabita melakukan hal yang sama untuk Hakim.
"Kak Hakim pernah bilang ke aku untuk nggak menyiksa diri sendiri, tapi kenapa sekarang kakak melakukan hal yang sama?" Sabita bersuara lagi.
Hakim mengerjap pelan. Dulu, dia tidak terlalu mengerti dengan duka yang dialami Sabita, andai diberi tahu lebih awal kalau dia akan merasakan duka yang sama, Hakim tidak akan mengatakan hal itu dengan enteng.
"Karena waktu itu saya belum tahu, kalau kehilangan bisa sangat menyakitkan dan menyedihkan seperti ini," balas Hakim.
"Aku tahu kak, tapi menyiksa diri seperti ini bukan solusi. Sebagai orang yang sudah pernah mengalaminya, menyakiti diri sendiri tidak ada gunanya, Kak. Jadi berhenti bersikap seperti ini, jalani hidup kakak dengan baik mulai sekarang. Kalau itu terlalu berat, cukup jalani dengan layak seperti biasanya, " tutur Sabita.
Ya, seberat apapun luka yang kalian peluk, tetaplah hidup. Kalau terlalu berat untuk hidup dengan baik, hiduplah dengan layak, itu saja sudah lebih dari cukup.