Rumah yang Hirap

Azzahra Nabilla
Chapter #21

21 | Keluh yang Meledak

Terlalu banyak keluh yang disimpan hanya membuat lelah, lebih baik segera disuarakan, sebelum meledak dan menghancurkan apa-apa yang sebelumnya sudah direncanakan.

*****

Dua minggu sudah berlalu, Hakim pelan-pelan mau pulih dari dukanya dan melanjutkan hidup seperti sebelumnya, bekerja dan berobat. Tiap hendak melakukan pemeriksaan ke rumah sakit, laki-laki itu tidak dibiarkan pergi sendirian. Kalau Bu Ratna sedang ada urusan dan tak bisa menemani, ada Sabita yang akan menggantikan. Selalu mereka berdua yang mengatur waktu untuk menemani Hakim karena hanya keduanya yang tahu soal penyakit laki-laki itu.

Dan hari ini adalah konsultasi kedua Hakim ditemani Sabita yang sedang menunggu sendirian di kursi yang terletak di depan ruangan pemeriksaan Hakim. Gadis itu menunggu Hakim selesai diperiksa seraya bermain ponsel untuk mengisi waktu. Dia mendesah kecewa ketika melihat ruang obrolan online dengan kakaknya, banyak pesan yang dikirim Sabita untuk mereka tak kunjung menerima balasan hingga hari ini.

"Kayaknya cuma aku yang kangen, mereka tidak," gumam gadis itu, suaranya cukup keras hingga terdengar oleh laki-laki yang baru saja keluar dari ruangan.

"Siapa yang tidak kangen?" tanya orang itu, langsung mengambil duduk di kursi besi di sebelah Sabita.

Sabita sedikit terkejut, tidak mengira bahwa pemeriksaan Hakim akan selesai secepat ini. "Eh, konsulnya sudah selesai?" Bukannya menjawab, gadis itu malah balik bertanya.

"Sudah, minggu depan di suruh datang lagi untuk pemeriksaan yang lebih detailnya," jawab Hakim, membuat Sabita mengangguk mengerti.

"Sekarang giliran kau yang jawab, siapa yang kau bilang tidak kangen tadi?" Hakim mengulang pertanyaan yang sebelumnya tidak dijawab Sabita.

Ekspresi gadis itu berubah sedih lagi. "Kedua kakak ku, mereka tak pernah membalas semua pesan yang aku kirim. Padahal aku cuma pengen tau kabar mereka buat mastiin kalau mereka baik-baik aja," ungkap Sabita.

Hakim jadi terpikirkan sesuatu setelah mendengar hal itu. Sebenarnya dia sudah lama ingin mengatakannya tapi selalu tak dapat momen yang pas. Di koridor rumah sakit yang lengnggan dan hanya diisi suara mereka berdua, seperti waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Saya ingin bilang ini dari lama, Ta." Laki-laki itu menjeda kalimatnya, memiringkan posisi duduk agar bisa menatap Sabita.

Tatapan Sabita menunjukkan bahwa dia memperbolehkan Hakim untuk melanjutkan kalimatnya, jadi laki-laki itu kembali bersuara. "Di malam tahun baru kemaren, kau pernah bilang harapanmu pengen kembali ke rumah. Kalau kangen kakakmu, saya bisa bantu kau untuk pulang. Kau mau, Ta?"

Sabita tersenyum simpul mendengarnya, soal itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Sabita selalu rindu dan ingin pulang ke kota asalnya, ke kedua kakak dan keluarga besarnya, tapi hal itu selalu tak mampu dia lakukan.

Untuk kembali ke kota kelahirannya, sebenarnya mudah saja. Hanya butuh satu sampai dua jam dia sudah bisa sampai di sana jika naik pesawat. Yang buat gadis itu terus mengurungkan niat untuk pergi kesana adalah rasa bersalah yang masih banyak bersisa di hatinya juga ketakutan tak diterima oleh kedua kakaknya mengingat luka apa yang mereka terima dari ulahnya.

Gadis itu sangat menghargai niat baik Hakim, namun Sabita tidak bisa menyetujuinya sekarang. Dia akan pulang nanti, kalau kedua kakaknya sudah mengizinkan. Jadi, dari jarak yang jauh dari mereka, Sabita hanya bisa berdoa agar amarah dan rasa benci kedua kakaknya segera diredakan. Sabita juga berdoa agar dia diberi keberanian besar untuk menghadapi resiko akibat keegoisannya.

Mendengar jawaban Sabita, akhirnya Hakim mengerti alasan Sabita bertahan hidup sebatang kara di kota orang meskipun dirinya sendiri tak ingin. Dia bertahan bukan karena mau, selain karena Ayah dan Bundanya dikebumikan di kota ini, rasa bersalah menakutinya hingga hari ini. Padahal kematian orang tua gadis itu yang direnggut oleh bencana bukanlah sepenuhnya salah Sabita. Hanya saja gadis itu memilih melimpahkan rasa bersalah itu kepada dirinya sendiri.

Untuk bisa berhenti menyalahkan diri sendiri, Sabita harus berani menyuarakan isi hatinya. Menyuarakan sedih, sepi, dan sakit yang selama ini disimpannya sendiri.

"Saya boleh kasih saran?" Hakim tiba-tiba berujar lagi. Pertanyaan itu direspon anggukan kepala oleh Sabita.

"Untuk berhenti menyalahkan diri sendiri, kau harus mengaku pada kedua kakak kau, Ta," usul Hakim.

Sabita melayangkan tatapan bingung. "Maksud Kak Hakim aku harus mengakui kesalahan ku ke mereka supaya bisa dimaafkan?"

Lihat selengkapnya