Melihat Lutfi yang berjalan semakin jauh ke dalam air, Sabita tidak tinggal diam. Gadis itu berniat mencegah Lutfi dan menariknya keluar dari air, tapi Sabita terlalu takut untuk masuk ke dalam air.
Sudah sepuluh bulan berlalu sejak menyaksikan bencana tsunami itu, trauma Sabita belum kunjung sembuh. Gadis itu masih takut menyentuh air laut.
Merasa dirinya tidak bisa berhasil membantu Lutfi keluar dari sana, Sabita berbalik badan lalu berniat berlari mencari dimana Hakim berada. Untungnya laki-laki itu datang tepat di waktu yang tepat, ketika sosoknya sedang sangat diperlukan.
Ekspresi terkejut tampil jelas di wajah Hakim saat melihat separuh badan Lutfi sudah tenggelam ke dalam air. Tanpa bertanya dan menerima penjelasan dari Sabita, Hakim sudah bisa menebak apa yang sedang dilakukan remaja itu. Hakim segera berlari masuk ke dalam air untuk mencegah Lutfi melanjutkan niat buruk dikepalanya.
"Berhenti, Fi!" teriak Hakim, dia menahan lengan Lutfi agar remaja itu berhenti melanjutkan langkahnya lebih jauh ke dalam air.
Tidak seperti Lutfi yang biasanya, yang selalu bersikap tenang, untuk pertama kalinya remaja itu memberontak pada Hakim.
"Lepas, Kak!"
Lutfi berusaha menepis tangan Hakim dari lengannya karena tak ingin ditahan.
Remaja itu sudah memutuskan untuk mati hari ini.
Pertengkaran hebat dengan Papanya tadi malam telah menyadarkannya. Kabar tentang jasad mama dan adiknya yang hilang sampai saat ini tak kunjung sampai ke telinga Lutfi. Padahal hal tersebut adalah syarat Papanya akan menerima maaf darinya.
Selain menunggu, Lutfi juga sudah berusaha semampunya. Dia sudah menggali banyak lubang pada bekas bencana likuifaksi itu untuk menemukan jasad mama dan adiknya dengan tangannya sendiri. Namun usahanya itu juga tak kunjung membuahkan hasil.
Tidak ketemu, artinya maaf darinya tidak akan diterima oleh Bagas, Papanya. Itulah kesimpulan yang ditarik Lutfi. Apalagi sejak kejadian tadi malam yang membuat pikirannya semakin kacau.
Dia sudah lelah hidup dengan menerima kebencian dari Papanya, apakah hari-hari berikutnya Papanya akan melakukan hal yang lebih menakutkan dibandingkan kejadian pada malam itu?
Memikirkan hal itu membuat Lutfi terlalu takut untuk hidup untuk hari esok. Lagipula kalau dia mati, Papanya tetap tidak akan peduli. Karena bagi pria itu, Lutfi tidak pantas hidup setelah membunuh istri dan anaknya. Ya, di mata pria itu, Lutfi bukan lagi putranya. Tapi pembunuh egois yang menyebabkan dia kehilangan istri juga putri kesayangannya.
Daripada terus menyalahkan diri sendiri, kenapa tidak sekalian saja membunuh dirinya sendiri? Niat buruk itulah yang mendasari tindakan Lutfi sore ini yang akan bunuh diri dengan tenggelam di pantai indah ini.
"Lepas, Kak!" Lutfi mengulang perintah yang sama.
"Tidak, kau tidak boleh bunuh diri," tolak Hakim, laki-laki itu makin menguatkan cengkramamnya pada lengan Lutfi.
Dari pinggir pantai, Sabita mengamati interksi dua orang itu dengan jantung yang berdegup tidak karuan. Dia gelisah dan takut setengah mati. Gadis itu sudah pernah menyaksikan banyak orang mati karena hanyut oleh air, dia tidak ingin menyaksikan hal yang sama lagi. Apalagi jika orang itu Lutfi, salah satu orang yang sudah dianggap dan menganggapnya sebagai keluarga selama bersama di rumah panti itu.
"Kenapa? Kenapa tidak boleh?" Lutfi menatap Hakim dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Saya tidak pantas hidup, Kak!"
"Kata siapa, Fi? Kata siapa kau tidak pantas hidup?!" balas Hakim
"Kata Papa saya, Kak. Karena mementingkan diri sendiri, mama dan adiknya saya jadi korban. Mulai dari jasad mereka yang belum ditemukan sampai hari ini hingga perubahan pada Papa saya yang jadi kasar dan pemabuk, semua karena kesalahan saya, Kak."