"Kak Bian?"
Panggil Sabita, memastikan bahwa dia sedang tidak berhalusinasi sepagi ini, memastikan bahwa yang sedang berdiri dihadapannya benar Abian, Kakaknya.
Tamu laki-laki itu mengangguk seraya tersenyum canggung, merasa tidak enak bertamu sepagi ini terlebih tanpa mengabari Sabita lebih dulu. Ya, tamu itu benar kakak kedua Sabita, Abian.
"Maaf ya, Ta, aku bertamu tiba-tiba kayak gini," ujar Bian.
Sabita tidak merespon kalimat Bian, gadis itu malah melangkah mendekati kakaknya lalu memeluknya erat-erat. Menyalurkan semau rasa rindunya selama ini.
Dipeluk tiba-tiba seperti itu membuat Bian terdiam, namun beberapa detik kemudian, laki-laki itu membalas pelukan adik bungsunya.
Karena sedang libur semester, Bian memutuskan untuk mengunjungi adiknya setelah satu tahun lebih putus kontak dengannya. Selama satu tahun itu, Bian banyak berpikir. Sikapnya dan Farel kepada Sabita selama ini sangat kekanak-kanakan.
Bukan hanya mereka yang kehilangan, Sabita juga sama kehilangannya. Tapi yang Bian dan Farel lakukan sebagai seorang kakak bukannya merangkul dan memsuh sedih bersama, mereka malah membenci dan memutuskan hubungan sepihak dengan Sabita.
Bian sudah menyarankan Farel untuk berhenti bersikap seperti itu, namun Farel terus menolaknya. Tidak tahan hubungan persaudaraan mereka kian merenggang tiap berjalannya waktu, Bian memutuskan untuk membantu mengawali perdamaian mereka.
Itu sebabnya, dia mengunjungi Sabita hari ini. Bermodal nekat dan alamat kurang lengkap yang pernah Sabita sampaikan padanya, Bian rupaya berhasil menukan rumah panti tempat adiknya tinggal selama ini.
Awalnya, Bian khawatir Sabita akan menolak kedatangannya, mengingat bagaimana jahatnya dia membiarkan adiknya hidup sebatang kara di kota orang selama ini.
Melihat Sabita malah menyambut kedatangannya dengan baik, membuat Bian merasa lega dan bersalah di waktu yang sama.
Hakim sedari tadi hanya diam menyimak interaksi kakak beradik itu. Akhirnya dia bisa bertemu kakak-kakak Sabita yang selama ini hanya Hakim kenal lewat cerita-cerita Sabita.
Sadar kalau dia harus segera berangkat sekolah sekarang, Sabita melepaskan pelukannya.
"Kak Bian kenapa harus bertamu pagi-pagi gini, sih? Aku kan harus berangkat sekolah," protes gadis itu.
Melihat kehadiran Bian di depannya, Sabita merasa ingin segera bercerita banyak hal pada kakaknya itu. Namun Bian bertamu di waktu tidak tepat, ini hari senin, dia harus segera berangkat sekolah sekarang. Mau absen sehari rasanya sayang, karena Sabita ada kuis fisik hari ini, tidak hadir artinya nilai kuisnya akan kosong.
Bian terkekeh melihat adiknya yang kesal. Sabita ternyata masih sama, masih suka merajuk tentang hal-hal kecil padanya.
"Iya, maaf ya kakak nggak liat waktu. Kamu sekolah aja dulu, ngobrolnya dilanjut nanti setelah kamu pulang," balas Bian.
"Kak Bian mau nunggu kan? Nggak langsung terbang ke Surabaya lagi hari ini?"
Laki-laki itu mengangguk utnuk menyakinkan Sabita. "Tentu, niat aku datang ke sini kan mau bertemu dan ngobrol sama kamu. Aku nggak bakal balik sebelum itu," ujarnya, membuat Sabita tersenyum senang mendengarnya.
Saking senangnya, Sabita sampai lupa memperkenalkan Bian pada Hakim. "Ini namanya Kak Hakim, kakak aku selama tinggal di sini," tutur gadis itu.
"Perkenalkan saya Bian, Kakak Sabita." Bian mengulurkan tangan di depan Hakim, berniat berjabat tangan. Uluran tangan itu di sambut baik oleh Hakim.
Jam tangan yang melingkar di lengan kanan Sabita sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh menit, kalau tidak mau terlambat dia harus berangkat sekarang. Gadis itu meminta bantuan Hakim untuk mengantarnya ke sekolah.