Waktu sudah berlalu seminggu sejak kepergian Hakim. Duka mereka masih sama walaupun cara mengekspresikannya berbeda. Mereka kadang menangis, namun sekarang lebih banyak menyalurkan rindu pada Hakim lewat doa-doa yang mereka langitkan.
Selain itu, hari ini adalah hari yang paling di tunggu-tunggu oleh Sabita sejak dulu. Hari di mana harapannya soal pulang ke rumah yang dia sampaikan pada Lutfi dan Hakim di malam tahun baru satu tahun yang lalu, akhirnya bisa terwujud sekarang.
Panggilan suara dari kakak tertuanya Farel hari itu rupanya kabar baik. Katanya dia ingin menyelesaikan perselisihan antara dirinya dengan Sabita secara baik-baik. Farel menyuruh Bian untuk kembali ke Surabaya dan membawa serta Sabita bersamanya. Dan pagi hari ini tepatnya pukul enam mereka berdua akan berangkat menuju Surabaya.
Menumpang mobil Pak Edi dan Sabita dan Bian diantar ke bandara ditemani oleh Bu Ratna dan Lutfi. Jarak dari rumah panti ke bandara lumayan jauh, itu sebabnya mereka berangkat tiga puluh menit sebelumnya.
Selama perjalanan menuju bandara, di dalam mobil Pak Edi dipenuhi oleh candaan dari pria kepala tiga itu, Bu Ratna, Lutfi, dan juga Bian. Saking serunya obrolan mereka, sampai tidak sadar bahwa mereka sudah sampai di bandara.
Bu Ratna dan Lutfi hanyak bisa mengantar sampai bandara dan kembali lagi karena Lutfi harus bergegas masuk sekolah dan Bu Ratna harus menyiapkan sarapan untuk anak-anak pantinya.
Sabita dan Bian tidak masalah, diantar dan ditemani hingga ke bandara sudah lebih dari cukup bagi mereka.
Bu Ratna memeluk Sabita sebagai salam perpisahan. Dalam pelukan itu, Sabita tak lupa menyampaikan terima kasih. Gadis itu sangat berterima kasih pada Bu Ratna karena telah bersedia menerimanya menjadi keluarga di rumah panti itu. Dia juga meminta maaf atas segela sikap kasarnya dulu dan perkataannya yang kiranya pernah menyinggung wanita itu.
Selesai dengan Bu Ratna, giliran Lutfi yang akan berpamitan dengannya. Remaja itu mengulurkan tangan di depan Sabita, berniat berjabat tangan sebagai salam perpisahan versi mereka. Sabita dengan senang hati menyambut uluran tangan itu.
Selama tinggal di rumah panti itu, Lutfi adalah teman sebaya terbaik bagi Sabita. Lutfi mungkin tidak banyak bicara, tapi lewat tindakannya remaja itu banyak membantunya.
Sabita masih ingat bagaimana mereka ketika pertama kali bertemu, bagaimana terlukanya mereka saat itu. Meskipun tidak dikatakan, mereka pernah takut hari seperti ini tidak akan pernah datang. Ketakutan mereka terjawab, pada akhirnya mereka pulih. Bahagia dan sedih merka rasakan di saat yang sama. Bahagia karena keadaan mulai berjalan normal, sedih karena Hakim tidak ada bersama mereka.
"Safe Flight ya, Ta, Kak Bian, semoga selamat sampai tujuan," ujar Lutfi setelah mengakhiri jabat tanganya dengan Sabita.
"Aamiin, makasih ya, Fi, Bu Ratna. Semoga kalian sehat selalu dan hidup bahagia di sini," balas Sabita.
"Kau akan berkunjung lagi kan, Ta, ke Kota Palu? Ke rumah panti Ibu?" tanya Bu Ratna.
Sabita tersenyum mendengarnya. tentu saja dia akan berkunjung ke kota ini. Walaupun hanya menghabiskan waktu yang singkat, ada banyak kenangan yang Sabita dapatkan disini. Dan di kota ini, ada makam Ayah dan Bundanya. Ada teman dan keluarga keduanya, Bu Ratna dan Lutfi.
"Tentu saja, Bu. Aku bakal berkunjung lagi."
Sepeninggal Bu Ratna, Lutfi dan juga Pak Edi. Sabita dan Bian masih harus menunggu beberapa menit karena pesawat mereka delay.