Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #1

1. Rumah Ini Dijual

Kegelisahan Desi mencapai puncak menara hati.

Itu karena rumah yang dia tinggali bersama suami dan anak tunggalnya masih juga belum berhasil terjual. Padahal sudah dua tahun lebih plang ‘Rumah Ini Dijual’ terpasang di pagar, tetapi tetap saja rumahnya belum menemukan pembeli.

Tidak sedikit sebetulnya yang bertanya, dari makelar sampai calon pembelinya sendiri sudah datang melihat-lihat kondisi bangunan rumah. Ujungnya? Selalu saja orang-orang itu hilang seperti kepulan asap tabunan yang ditimpa hujan.

Desi juga tidak cuma pasang plang saja. Informasi ia sebar ke teman dan saudara. Harga rumah yang ia anggap dipatok Faisal (suaminya) terlalu tinggipun akhirnya diturunkan hingga hampir 30 persen.

Semua Desi lakukan agar rumahnya segera laku dan memperoleh kenyamanan yang ia harapkan.

“Pakai jasa orang pinter aja, Des. Siapa tau cepet laku. Kalo lo mau, gue anterin deh ke tempat orangnya.” Laila yang puas mendengar keluh kesah temannya itu langsung memberi solusi.

“Orang pinter?” Tatapan Desi spontan menyelidik. “Dukun?”

“Ih! Bukan ...” tepis Laila yakin. Sesaat ia terjeda. Sebelum melanjutkan cerita, ia seruput es jeruknya terlebih dahulu untuk memadamkan jejak-jejak pedas kuah bakso yang masih menusuk-nusuk lidahnya.

“Ini mah Pak Haji yang punya ilmu tinggi, Des,” lanjut Laila. “Doanya manjur nembus ke langit! Tetangga gue aja yang tadinya susah punya anak, sekarang udah hamil 3 bulan. Gue denger-denger sih, artis-artis sampe pejabat juga banyak yang konsul sama si Pak Haji ini. Biasa, buat pelancar karir! Nah, apalagi elo yang cuma sekedar pingin rumah laku. Gue yakin berhasil deh …”

Mendadak hati Desi yang tandus serasa disiram hujan. Ada pula rasa aman bernyanyi dihatinya, setelah tahu bahwa orang pintar yang dimaksud Laila adalah orang beragama, sudah haji pula. Terbayang oleh Desi betapa solehnya orang itu, dan pasti bisa membantunya memohon pada Tuhan agar rumah segera laku terjual. Tambah lagi dari cerita Laila, banyak orang-orang besar yang berkunjung dan mendapat hasil. Wah, tidak salah kalau Pak Haji yang Laila maksud dimintai pertolongan.

“Bener, nih?” tapi rupanya Desi masih ingin memastikan. “Pak Haji bisa bantu gue?”

“Bisa, deh. Yakin, gue. Tinggal lo siapin aja duitnya.”

“Berapa’an?”

“Ya …, dari Pak Haji sih seikhlasnya kita. Cuma ya tau diri aja, Des. Jangan kebangetan kecil. Masa harga rumah puluhan juta lo bandingin sama duit goceng.”

Desi terkekeh. “Iya, iya. Paham deh, gue.”

Usai bertemu Laila di Warung Bakso Pakde, Desi yang kembali bersemangat langsung pulang ke rumah. Kebetulan hari itu hari sabtu, dimana Faisal sedang libur. Jadi tidak perlu waktu lama untuk Desi menceritakan obrolannya dengan Laila tadi.

“Dukun?” respon Faisal sama.

Lihat selengkapnya