Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #2

2. Rumah Terjual

 

Satu minggu telah berlalu, seorang pria berusia sekitar 25 tahun lebih terlihat asyik berbincang santai dengan Desi dan Faisal di ruang tamu. Ialah Tuan Calon Pembeli Rumah, yang terlihat serius sekali ingin membeli rumah mereka, yang konon akan ditempati setelah ia dan tunangannya menikah nanti.

“Memang kenapa Pak, mau dijual?” tanya pria berkaca mata dengan rambut klimis itu pada Faisal.

“Jujur saja saya banyak hutang, Mas. Jadi uangnya nanti separuh untuk beli rumah baru, separuhnya untuk lunasi hutang,” jujur Faisal sambil tertawa kecil malu-malu, sengaja tak membuka semua alasan. Padahal dalam hati sebetulnya miris, kenapa ia membayar hutang dengan menjual rumah? Kalaulah bukan karena Desinya juga yang tidak betah tinggal disana, tentu ia memilih bertahan mencicil hutang lewat penghasilannya saja yang merupakan salah satu staff operasional di sebuah perusahaan bank swasta.

“Oo … begitu.” Pria itu mengaguk-angguk sambil memasang wajah iba. “Lalu nanti Pak Faisal dan Ibu Desi mau pindah kemana?”

“Kalau soal itu belum tahu, Mas.” Giliran Desi yang menjawab. “Kemungkinan besar sih, enggak di Bogor lagi. Pingin yang lebih dekat dengan kantor suami saya.”

Lagi-lagi pria itu mengangguk-angguk. Ia tampak semakin paham saja dengan kondisi Faisal dan Desi. Tatapannya lantas kembali mengedar mengelilingi ruang. Untuk sesaat hening pun menguap.

Ekspresi pria itu sungguh menggelitik keingintahuan Desi dan Faisal, saling melempar lirikan mata menjadi pertanda bahwa mereka ingin segera menemukan jawaban, apakah pria itu jadi membeli atau tidak? Tak ingin digantung, apa lagi menunggu lebih lama. Atau ada pertanyaan lain yang ingin ditanyakan? Ayolah, katakan saja apa yang ada di kepala. Sebagai penjual Desi dan Faisal siap melayani raja.

“Saya rasa …, saya sudah cocok sama rumah ini, Pak.” Akhirnya calon pembeli itu bersuara. Suara yang langsung membawa berita menggemparkan perasaan Desi terutama. Seperti menyambut kelahiran anak saja, Desi girang setengah mati walau disatu sisi tetap harus menjaga sikap tidak boleh lepas berjingkrak di depan tamu. Berbeda sekali dengan Faisal yang terkesan tanpa ekspresi.

“Ini serius kan, Mas?” Desi masih ingin mengunci keputusan pasti.

Pria itu tersenyum. “Jelas saya serius dong, Bu.”

“Alhamdulillah … rumah kita laku juga, Pah.”

Untuk sesaat Faisal tersenyum hambar. Rupanya tak seringan yang ia kira, ada rasa sayang yang melekat, bahkan timbul lebih tinggi kala mendengar orang asing di depannya serius akan membeli. Berkebalikan sekali dengan perasaan Desi.

 “Jadi kapan, Bapak dan Ibu ada waktu untuk kita transaksi di depan notaris?”

“Untuk soal itu –“ “Sekarang juga bisa, Mas!” oh, semangatnya Desi … sampai menyalip ucapan Faisal.

 

***

Lihat selengkapnya