“Ini rumahnya. Gimana, Pah?”
Sudah lebih dari dua minggu Desi harus kesana kemari mencari rumah yang baru. Naik turun angkot pun ia rela, dan tak jarang mengajak putri tunggalnya untuk ikut bersamanya setelah ia pulang sekolah. Hanya hari sabtu dan minggu saja paling-paling suaminya terlibat. Lebih banyak Desi yang mengerahkan tenaga kalau soal berburu rumah.
Selayaknya sebuah pencarian besar, jelas bukan hal mudah dan tak mungkin menelan waktu sekejap. Hal yang paling utama menjadi pertimbangan Desi untuk mendapatkan tempat tinggal baru adalah lokasi yang berada di ibu kota Jakarta, harga yang sesuai dengan dana tersedia, lalu barulah bentuk rumahnya. Desi tidak muluk-muluk ingin mendapatkan rumah yang bentuknya lebih bagus atau jalannya lebih strategis dari sebelumnya, sadar diri dengan jumlah uang yang ia miliki dan harga tanah di ibu kota.
Sampai kemudian Desi menemukan sebuah rumah yang menurutnya cocok dengan kriteria yang ia ciptakan di pikirannya. Lalu mengatakan pada Faisal agar besok sepulang kerja mereka janjian lalu melihat rumah itu bersama-sama.
“Pah? Gimana? Kok diam aja?” tanya Desi lagi.
“Serius yang ini, Mah?” bisik Faisal dengan wajah heran, tak ingin pemilik rumah yang sudah berdiri di samping mereka mendengar jelas percakapan itu.
“Ya emang mau yang gimana lagi? Papa kan tahu sendiri harganya pada mahal-mahal,” sewot Desi. Ia tak suka pertanyaan Faisal, apalagi ekspresinya terkesan keberatan begitu. Desi paham betul bahwa pilihannya sedang ditolak. Ingin Faisal sadar diri bahwa uang mereka memang tak cukup, jadi jangan banyak mau.
“Nanti ada rezeki bisa nih Pak, ditingkatin. Tinggal bikin kamar lagi di atas,” Tanpa diminta pemilik rumah menyuarakan idenya. Berhasil memancing anggukan setuju Desi.
Faisal kembali hening. Pandangannya mengedar memperhatikan rumah dari depan secara keseluruhan. Sekali lagi Desi bertanya, hingga pada akhirnya Faisal tidak bisa lagi berpanjang lebar menyampaikan keraguan. Ia hanya bisa acuh tak acuh menyambut pertanyaan Desi dengan jawaban, “Ya udah, terserah”.
Desi sendiri lega mendengar jawaban itu. Akhirnya ia kembali merasa diberi kebebasan penuh untuk menentukan arah kemana mereka bertiga akan melangkah selanjutnya.
Dukungan Faisal lagi-lagi melambungkan hati Desi. Tiap berada di titik itu, jelaslah rasa sayang Desi pada Faisal semakin besar. Tanpa sedikitpun wanita itu menyadari, bahwa tidak selalu jawaban “terserah” yang diberi Faisal dapat diartikan sebagai dukungan penuh, bisa jadi memiliki arti tersirat yang terjemahannya berkebalikan dan sudah sewajarnya ia cari tahu sebagai salah satu wujud cinta.
Dan memang benar begitulah adanya. Sejatinya jawaban Faisal hanyalah buah dari rasa kecewa dan menyerah. Kenapa keadaan tidak sesuai dengan yang ia bayangkan? Kenapa rumah seperti itu pilihan Desi? Faisal kira ia akan mendapatkan rumah yang lebih atau sama baik seperti sebelumnya, rupanya tidak.
Faisal akui Desi lelah, dirinya sendiri yang tak terlibat tiap hari mencari pun lelah. Berburu kesana kemari untuk menemukan rumah baru yang cocok sesuai dana yang mereka punya. Tepatnya Dana hasil jual rumah setelah dipotong hutang dan bersenang-senang karena habis ketiban rezeki nomplok. Jadi mau pilih yang lebih baguspun dari rumah yang ditemukan Desi saat itu ya memang mana bisa. Uangnya sudah terlanjur jauh dari cukup. Faisal pikir-pikir lagi, mungkin bisa dibilang dirinya hanya butuh waktu, untuk menelan kenyataan yang ada.
Sah! Hanya dalam beberapa hari Desi dan Faisal akhirnya memiliki rumah itu.
Hidup baru keluarga itupun kembali dimulai. Walau rupanya masih pahit saja rasanya hati Faisal, menggerutu dalam hati tentang nasibnya. Rumah sebelumnya, yang lebih besar, harus diganti dengan rumah yang kecil seukuran rumah petak bekas kontrakan dan masuk gang sempit. Memang terletak di pusat Ibu Kota, Faisal tahu harga tanah jauh lebih mahal dari tempat ia sebelumnya, namun tetap saja dalam bisu Faisal masih menyayangkan.
Faisal masih berjuang menerima, dan disatu sisi menghibur hati dengan kalimat bahwa inilah saat pembuktian cintanya lagi. Ini sudah seharusnya ia lakukan sebagai seorang suami yang menyayangi istri. Tidak ada yang sia-sia. Desi akan semakin-makin-makin mecintainya.
Pembuktian cinta?
Tentu, sejak dulu menuruti apapun kemauan istri adalah sebuah wujud pembuktian cinta bagi Faisal. Seperti yang terjadi lagi saat ini, pikirannya kembali menjalar hingga menemukan alasan yang dapat membuatnya sepihak dengan Desi.