Desi bergerak cepat. Bergegas membuat plang pada ahlinya, dan setelah jadi langsung dipasang, terutama di depan gang. Tak lupa menyampaikan pada sekitar bahwa rumahnya ingin dijual, dan …, tentu saja memakai lagi jasa Pak Haji Zaelani supaya rumahnya lekas laku.
Anehnya lagi-lagi memang keajaiban terjadi. Desi tak membutuhkan waktu yang sama lamanya seperti rumahnya dahulu untuk menjual. Hula! Hanya butuh beberapa penolakan lalu uang sudah ditangan, maka dimulailah lagi perburuan menemukan tempat tinggal yang ideal seperti yang diidam-idamkan Desi.
Perburuan juga seperti sebelumnya, tak cuma Desi sendiri yang biasanya menggandeng Amel. Jika Faisal libur, perburuan dilakukan bertiga mengendarai motor bebek mereka sebagai transportasi yang sangat diandalkan.
Bertiga?
Ya, badan putri tunggal Desi dan Faisal itu kan memang mungil. Kurus juga pendek untuk anak sesusianya. Walau sudah SMP tapi tubuhnya lebih cocok jadi anak kelas empat SD. Mungkin itu karena pengaruh Amel yang belum memperoleh haid walau sudah SMP. Kalau kata orang-orang di sekitar Desi, tubuh anak perempuan akan melar kalau sudah masuk fase haid. Entahlah keakuratan informasi itu bagaimana, tapi yang pasti Desi mempercayai itu. Jadilah Amel masih bisa duduk di antara ayah dan ibunya dan terlihat masih seperti bocah.
Dalam rentang waktu pencarian, Desi dan keluarganya memutuskan untuk mengontrak sementara. Karena berbeda ketentuan pembeli sekarang dengan pembeli yang dulu, dimana kalau pembeli yang dulu bersedia memberi mereka izin tetap tinggal sampai menemukan rumah baru.
Tidak butuh waktu lama juga, lewat bantuan teman Faisal yang di Bogor, dapatlah sebidang tanah untuk dibangun. Tanah itu cukup luas, hampir 200 meter. Tentu itu melebihi luasnya tanah yang pernah mereka punya selama ini. Walaupun jalan depannya tak dapat masuk mobil melainkan jalan yang hanya muat satu motor, tetapi menurut Faisal ini sudah sangat bagus. Lagi pula Faisal juga berpikir bahwa tak ada impian di benaknya dalam waktu dekat untuk membeli mobil. Buat makan saja pas-pasan apa lagi membeli mobil. Jadi tak ada salahnya tanah itu dipilih
“Gimana, Mah?” kali ini Faisal yang bertanya pada Desi untuk mendapatkan hasil akhirnya.
Desi diam menimbang-nimbang. Selidik punya selidik, sebetulnya masih belum sesuai harapan Desi. Dia masih agak kurang sreg. Hanya saja …, menurutnya tanah itu tampak masih lebih baik jika perbandingannya adalah rumah mereka sebelumnya.
“Udahlah ini aja!” celetuk Amel yang sudah mulai berani ikut campur menentukan pilihan.
Amel sudah bisa merasakan lelahnya mencari-cari tempat tinggal yang sesuai dana tersedia sekarang. Beda seperti sebelumnya yang tak banyak tahu apa-apa, yang senang-senang saja diajak ibunya jalan cari rumah atau dibawa bersama ayahnya naik motor kemanapun. Sekarang Amel sudah ikutan bisa menilai. Sewot merasakan bokongnya sampai pegal menempel di jok yang kurang empuk dari pagi hingga malam. Selalu mondar-mandir tiap Faisal libur naik motor bertiga, sekalinya Amel suka, sayang dana tak ada. Nasib …, punya ayah bukan pemilik bank.