Bulan demi bulan berlalu hingga menggenap menjadi tahun ke dua mereka tinggal di rumah yang sekarang. Amel juga sudah masuk SMU. Lelahnya mondar-mandir tiap siang dari Bogor ke Jakarta tergenapi sudah. Sekarang gadis itu melanjutkan belajarnya di salah satu SMU swasta di Bogor.
Buat kali ini Amel lebih santai beradaptasi. Dia sudah cuek memasuki lingkungan baru sendiri. Entah karena bukan hanya dia seorang melainkan semua anak-anak yang lulus SMP di Indonesia, atau karena memang mental Amel sudah siap dari jauh-jauh hari kalau saat adaptasi lagi akan tiba.
Entahlah. Pastinya, walau tidak jago-jago sangat dalam bersosialisasi, tapi Amel mampu mendapat teman baru di kelasnya.
Faisal sendiri kini merasa keadaannya sudah bisa dibilang stabil. Rumah semakin bagus saja, Amel sudah tak perlu jauh-jauh sekolah, Desi pun sudah jauh lebih bisa “bertahan” untuk tinggal, walau sesekali ada saja keluhan Desi yang keluar lagi soal tidak betahnya dia di rumah itu. Sampai-sampai terkadang Faisal bosan dan capek sendiri mendengarnya, memicu terpancingnya emosi yang berujung pada perdebatan kosong terus. Namun setidaknya Faisal merasa beruntung, karena berbagai keluhan Desi tak membuatnya ingin menjual rumah lagi.
Dalam kesendirian Faisal sempat berpikir, kenapa Desi sangat mudah sekali merasa tidak betah? Memang rumah seperti apa yang akan bisa menjadikan perasaannya nyaman? Apakah rumah-rumah elit yang dimiliki para orang kaya? Yang lengkap fasilitasnya, keamanannya, jauh dari tetangga, dan saking tertutup dan tinggi temboknya bisa berteriak di dalam rumah tanpa ada yang menegur? Wah! Kalau itu jawabannya, Desi harusnya bukan berganti rumah, tetapi berganti suami.
Faisal menggaruk-garuk rambutnya kasar. Memikirkan keanehan Desi malah berujung membuat dirinya menjadi rendah diri. Bukannya menemukan jawaban yang benar malah menimbulkan persepsi buruk terhadap istrinya sendiri.
“Belum pulang, Bang Faisal?”
Faisal terkejut menoleh. Ia lihat Indra teman sekantornya sudah berdiri di depan mata. Faisal sama sekali tidak sadar, sejak kapan Indra ada di sana?
“Oh, iya Ndra. Ini lagi mau siap-siap.” Faisal bangun dari kursi meja kerjanya. Mengambil tas untuk memasukan beberapa barang keperluannya agar dibawa pulang, lalu bergegas memakai jaket. Geraknya beriringan dengan Indra yang kembali pada meja kerjanya juga untuk bersiap-siap pulang.
Sebetulnya Faisal ingin bertukar pikiran dengan Indra, terlebih dia juga pernah bercerita pada teman yang selisih tujuh tahun lebih muda darinya itu tentang masalah pernikahannya. Namun akhirnya Faisal mengurungkan niat. Ditelan sendiri saja dulu, ia merasa masih bisa mengatasinya.
“Eh iya, Bang. Entar malam si Bahri sama yang lain pada ngajak tanding Badminton. Ikut yuk, Bang!” kata Indra tiba-tiba.
Faisal yang mendengar berubah jadi semangat. “Oh, ya? Dimana? Lapangan biasa?”
“Iya, Bang. Dateng ya! Besok libur ini.”
“Sip …”