Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #9

9. Rumah Ini Dijual Lagi dan Lagi

 “Hah! Mbak Desi mau jual rumah lagi?” Baru juga tiga hari yang lalu Indra lihat Faisal kegirangan menang tanding badminton, hari itu di jam pulang kantor Indra sudah mendengar kabar mengejutkan.

“Tau tuh, mamanya Amel. Bingung saya. Katanya nggak betah diomongin tetangga gara-gara di dalam rumah terus,” ucap Faisal lesu.

“Yah! Kalau yang sekarang di jual lagi sih sayang, Bang. Lagian emang nggak capek, pindah-pindahan mulu?”

Faisal hening mendengar kata-kata Indra. Kalau dibilang capek ya capek memang. Tidak salah Indra berkata begitu. Untuk rumah yang sekarang Faisal juga merasa lebih berat melepaskan, rasa berat yang sama seperti dia melepaskan rumah pertama di Bogor dulu.

“Mau pindah kemana lagi?” Batin Faisal. Bayangan masa lalunya mondar-mandir di dalam kepala.

Susah! Cari rumah itu susah kalau dana yang dimiliki terbatas. Rumah yang sekarang saja masih belum sempurna dibangun, masa iya sudah kembali harus memulai dari nol.

 Tidak! Untuk yang kali ini Faisal putuskan untuk tidak menyerah pada keinginan Desi. Dia ingin bertahan saja. Terserah Desi mau memaksanya seperti apa dan seberapa lama. Pokoknya Faisal sudah bertekad tidak akan mengizinkan Desi menjual rumah itu.

“Pokoknya Mama mau pindah! Ini Mama udah tahan-tahan, Pah, buat tetap disini. Sekarang Mama udah enggak bisa lebih lama lagi. Mendingan kita cari tempat lain. Papa ngertiin dong, perasaan Mama.”

“Enggak bisa! Papa bilang nggak bisa! Papa enggak mau jual rumah ini!” bentak Faisal tegas. Tentu saja itu membuat Desi menangis tersedu-sedu.

Di depan rumah Amel termenung sendiri mendengar suara-suara pertengkaran ibu dan bapaknya di kamar. Sekarang perasaan Amel jadi bingung, yang mana yang harus didukung?

Tadinya Amel sangat mendukung keinginan Desi. Amel juga merasa tidak betah, bukan karena bentuk rumah, tetapi karena dia selalu menjadi pusat perhatian anak-anak seusianya disana. Apalagi sekarang Amel memasuki usia hampir dewasa, dimana wajahnya semakin memancing ketertarikan lawan jenis, ada saja lelaki yang berteriak memanggil nama Amel sembari lewat depan rumah. Atau sengaja menggoda kalau Amel berpapasan dengan salah satunya saat ia disuruh Desi ke warung atau pulang sekolah. Padahal sudah jelas kalau Amel cuek-cuek saja. Amel merasa terganggu dengan perhatian mereka.

Untuk anak-anak dan remaja perempuannya juga sama, mereka selalu ajak Amel main bersama, sudah ditolak berkali-kali karena sebenarnya Amel malu, tetapi salah satu dari mereka malah berkata, “Kok Amel di dalam rumah terus? Sekali-kali keluar, dong! Ngumpul sama kita-kita. Jangan di dalam aja.” Itu kata-kata yang persis seperti yang dikatakan ibu mereka yang sengaja menggoda Desi jika sedang menjemur pakaian di depan atau saat akan pergi jalan-jalan ke luar dan tak sengaja bertemu mereka.

Pada akhirnya Amelpun sama saja seperti anak-anak tetangga yang berkomentar itu, persis seperti ibu yang melahirkan mereka. Anak-anak tetangga itu sama-sama senang mengomentari kenyamanan orang, sementara Amel senang menutup diri tapi memendam tak enak hati. Perasaan yang sama seperti yang dirasakan Desi.

Amel pun jadi ikut berpikir seperti Desi, bahwa jika rumah tidak lagi membawa kenyamanan, maka semua mudah, tinggal jual lalu pindah saja. Tanpa Amel ataupun Desi sadari, bahwa mau tinggal dimanapun masalah akan tetap saja ada.

“Pah, udah dua hari Mama enggak makan nasi.”

Faisal hanya diam saat Amel mengatakan hal itu. Ia sebetulnya tahu apa yang dilakukan Desi, karena Desi sendiri sudah mengatakan sebelumnya dalam keributan mereka beberapa hari lalu kalau dia tidak akan makan nasi sampai Faisal mau menjual rumah mereka.

“Haduh …, badan Mama lemes nih! Enggak makan nasi,” keluh Desi setengah berteriak dari dalam kamar. Pas betul keluhannya dengan momen dimana Amel sedang bercerita pada Faisal. Buat Faisal curiga saja ibu dan anak sedang bekerja sama.

“Biarin lah, biar mama kamu sekalian diet,” celetuk Faisal sok cuek sambil meresletingkan jaketnya hendak bersiap berangkat ke kantor.

Lihat selengkapnya