Tak bisa dipungkiri, obrolan dengan Putri di sekolah ternyata cukup berkesan untuk Amel. Gadis itu jadi cemas sendiri, bagaimana jika nanti keluarganya bernasib sama dengan dengan teman ayahnya Putri itu.
“Ya bener kata teman kamu!” balas Faisal agak sewot, setelah mendengar cerita Amel yang ia bawa dari sekolah tadi. Rupanya Amel tak kuat jika tidak membagi lagi kisah itu pada Faisal. Malamnya disaat Faisal pulang kerja, tepatnya setelah makan malam, Amel menceritakan semuanya. “Jual beli - jual beli gitu ya ujungnya bisa aja malah ngontrak. Itu yang juga Papa pikirin, Mel. Kamu cerita sana! Sama mama kamu sekalian. Biar paham.”
“Udah, Pah.”
“Terus jawabnya apa?”
“Mama bilang …, kita sih enggak bakal kayak gitu.”
Faisal mendesah sambil geleng-geleng kepala. “Dasar kepala batu,” gumam Faisal. Kebetulan Desi sedang rebahan di kamar, jadi tak ikut perbincangan. Sejak Faisal pulang, Desi memang enggan keluar kamar.
“Mungkin ini buat yang terakhir kali, Pah.” Amel tak tahu apakah dorongannya tepat atau tidak, yang pasti ia hanya ingin keadaan kembali harmonis seperti semula.
“Terakhir apa sih, Mel?”
“Hem …, terakhir Papa kabulin maunya Mama. Mungkin di rumah baru setelah ini, Mama enggak akan ribut jual lagi. Kita cari sama-sama lagi, Pah. Carinya yang sabar, enggak terburu-buru.”
Faisal memberi tatapan miris pada Amel. “Kenapa Amel jadi ikutin Mama? Amel disuruh Mama ngomong gitu ke Papa?”
Buru-buru Amel menggeleng. “Enggak kok, Pah. Enggak sama sekali.”
“Apa jangan-jangan Amel juga enggak betah disini?”
Amel menunduk. “Jujur – iya.”
Faisal merasa semakin penat saja. “Papa kira Amel belain Papa.”
Amel kembali mengangkat wajahnya. “A – Amel juga bingung, Pah, Amel harus dipihak siapa? Amel emang setuju sama Mama, Amel enggak betah disini. Tapi kalau akhirnya Papa tetap enggak mau pindah, ya udah Amel ikutin keputusan Papa. Buat Amel yang paling penting, Papa sama Mama stop berantemnya.”
“Maksud Amel stop berantem dengan ikutin maunya Mamah?”
Hening, senyap, bisu, pertanyaan terakhir Faisal begitu sulit Amel jawab.
Bisunya Amel membuat Faisal menarik diri dari anaknya itu. Tanpa berganti baju lagi, Faisal kembali ke motornya, menyalakan mesin, lalu pergi tanpa pamit begitu saja. Dalam hati Faisal kecewa besar, tak mendapat dukungan sesuai dengan yang ia harapkan.
“Mau kemana lagi Papa kamu?” mendengar bising motor Faisal yang menjauh, Desi baru keluar kamar.
“Enggak tau, Mah. Papa enggak bilang apa-apa.” Amel menghindar, bergegas merapikan piring kotor bekas makan Faisal. Dibawanya langsung ke dapur piring kotor itu, ditumpuk bersama piring kotor lainnya untuk dicuci. Sengaja Amel tak ingin banyak bercerita pada Desi.
“Bisa-bisanya pergi enggak ngomong!” kesal sekali Desi. Lantas ia pun menyusul putrinya ke dapur. “Sama sekali enggak bilang sama kamu, Mel?” tanyanya Desi lagi. Dilihatnya Amel yang memunggunginya, mulai sibuk menggosok piring dengan spon yang sudah diberi sabun cair di atas wastafel.
“Enggak, Mah. Mungkin Papa mau main kalih, ke rumah Om Indra.” Jawaban Amel sebetulnya berniat menenangkan Desi.
“Ada apa’an sih disana? Betah banget kesana terus!” namun bukannya tenang, Desi malah makin sewot. Hal itu membuat Amel ingin memperbaiki emosi ibunya lagi. Alhasil Amel mematikan keran air wastafel di depannya, menunda sejenak mencuci piring lalu berbalik ke arah Desi.