‘Rumah Ini Dijual’
Setelah menelan waktu hampir dua minggu, ujung kebisuan antara Desi dan Faisal akhirnya ditemukan. Pagi itu saat Faisal sedang libur, Desi lihat suaminya sedang menulis tiga kata yang ia harap-harapkan itu di atas selembar karton. Mengenakan spidol berwarna hitam, meski tidak terlalu dekat, di balik badan Faisal tampak sangat jelas tulisan itu terbaca oleh Desi. Jelas saja hati wanita itu langsung berbunga, dan tentu ia mulai kembali banyak mengajak Faisal bicara.
Amel yang mengetahui keputusan ayahnya antara senang, tapi juga kasihan. Ia mulai memahami bahwa selama ini ayahnya sudah begitu banyak mengalah. Namun Amel tak tahu cara bagaimana menghibur hati ayahnya. Jadi soal itu, dia lebih sering menjadi pendengar yang baik saja kala Faisal tanpa direncana mengeluhkan sikap ibunya.
“Gimana sih, Mbak Desi! Pindah sana, pindah sini. Enak banget rumah dijual-dibeli. Kak Sal juga mau aja nurutin Mbak Desi!”
Hari itu Faisal sengaja tak ingin cepat pulang, ia mampir terlebih dahulu ke rumah Hamdan adik pertamanya yang tinggal di Jakarta untuk sekedar main-main saja. Sekalian memberi tahu Hamdan juga, bahwa ia berniat jual rumah lagi. Siapa tahu pembeli rumah itu datang lewat Hamdan. Namun rupanya malah itu membuat Hamdan jadi kesal. Ia tidak rela kakak iparnya bersikap seenaknya seperti itu. Tak terkecuali istrinya yang bernama Nurul.
“Iya, Kak. Maunya apa sih, Mbak Desi? Kesana-kemari enggak ada habisnya. Kak Faisal jangan turutin maunya Mbak Desi terus, dong!” sambung Nurul.
“Bener, tuh! Kak Sal harus tegas sama Mbak Desi. Hamdan enggak mau Kakak kesusahan gini. Kita tuh laki-laki, Kak! Istri yang seharusnya ikut maunya kita, kita yang mimpin!”
Menggebu-gebu sekali Hamdan dengan Nurul membangkitkan semangat Faisal agar merubah keinginan Desi. Keduanya berpihak pada Faisal, dan terkesan memojokkan Desi dengan menyebutnya sebagai istri egois.
Faisal sendiri tak membantah apapun istrinya dijadikan bahan omongan adik dan iparnya, karena Faisal sendiri sulit membantah mereka dan diam-diam merasa senang saja dibela. Rupanya masih ada yang mendukungnya. Walau ujung-ujungnya tetaplah Faisal penat-penat juga, buat apa pembelaan itu kalau tidak bisa merubah keadaan? Alhasil Faisal yang malah bertambah pusing mendengar adik dan iparnya mengoceh hanya bisa bilang, “Tau, lah!”
Faisal, Faisal. Malang benar ia. Ingin membahagiakan istri namun hati masih belum utuh untuk rela melepas yang ia suka. Jauh, jauh sekali rela itu disebut utuh. Kini ia berjalan ke masa ke depan dengan kaki yang berat. Akan tetapi perjalanannya kini hanya sekedar mengekori sang istri saja, dengan berpura-pura melupakan keinginannya sendiri.
Bersama hati yang terombang-ambing dengan keraguan, Faisal mencoba pasrah digandeng kemana saja istrinya mau. Tanpa pria itu sadar, bahwa sekecil apapun rasa tidak relanya itu akan membahayakan. Ia lupa, bahwa lilin menerangi karena telah membakar dirinya sendiri.
“Abim gimana kabarnya, Dan?” tanya Faisal tiba-tiba seraya menyalakan rokok di tangannya. Pertanyaan yang hanya bisa Faisal tanyakan usai Nurul baru saja pamit sejenak meninggalkan ia dan Hamdan untuk membeli nasi goreng.
“Sehat, Kak. Bentar lagi udah mau setahun, dia. Rencana Bundanya sih mau dirayain.”
“Mau dirayain dimana?”
“Paling di rumah neneknya. Kecil-kecilan aja ngundang anak-anak tetangga. Kalo besar-besar Hamdan mana mampu. Kecuali Kak Sal mau bantu.”