"Emang harus, kita ngontrak?” Amel bertanya santai pada Desi, sambil mengoleskan selai kacang ke atas selembar rotinya, usai ia mendengar Desi dan Faisal yang sebelumnya berdebat.
“Harus kalau mau cepat laku!” tegas Desi menghampiri Amel ikut duduk lesehan di depan TV.
“Mama terlalu nurut sama tuh dukun.”
“Sstt …, jangan sembarangan kamu! Bukan dukun, tapi orang pintar.”
Amel mendesah, lalu menggigit roti miliknya. Jadi malas kalau sampai menimbulkan perdebatan tentang dukun. Amel sudah menerka, pasti dirinya sendiri yang kalah.
“Kayaknya Mama masih harus lebih sabar ngadepin Papa kamu.”
“Uhuk-uhuk!” Mendadak Amel tersedak, segera saja ia meneguk susu cokelat di depannya sebagai pelancar tenggorokan. Pecah fokus si Amel gara-gara mendengar keluhan Desi. Dalam pikirnya ia merasa ucapan ibunya terbalik. Bukankah selama ini ayahnya yang harus lebih banyak sabar menghadapi ibunya itu?
“Pelan-pelan dong, Mel.” Desi bangkit berdiri hendak menuju kamar mandi. “Nanti kunci Mama taruh di bawah pot, ya,” lanjut Desi sambil berlalu.
“Emang Mama mau kemana?!” Amel meninggikan suara seiring semakin jauh ibunya.
“Mau cari kontrakan! Kalo Papa enggak mau bantu, biar Mama yang cari sendiri!”
Amel geleng-geleng kepala. Ibunya masih saja kukuh ingin mengontrak. Yakin sekali rumah mereka akan cepat laku terjual jika kosong. Meski …, di satu sisi Amel juga kesulitan sendiri untuk menampik, bahwa saran Pak Haji itu memang manjur.
“Bodo amat, ah!” gumam Amel. Lalu kembali fokus menghabiskan sarapannya, dan siap berangkat ke sekolah.
Ya, ujungnya sikap Amel akan seperti itu. Bersikap tak peduli urusan orangtua adalah jalan yang selalu ia tempuh sendiri. Sebagai wujud bahwa sebagai anak ia tidak punya pengaruh apa-apa untuk bersuara, atau memberi masukan ke arah mana kapal keluarga mereka berlayar. Terkecuali keadaan kapal sudah semakin gawat, mungkin barulah ia bergerak walau sedikit saja dan itu pun gagal. Seperti yang sudah pernah terjadi.
“Iya, Put. Rumah gue yang sekarang udah diputusin buat dijual. Cuma sayangnya masih belum laku juga.” Di sekolah Amel membagi cerita pribadinya soal rumah dan orangtuanya lagi pada Putri.
Setelah berbulan-bulan mereka lama melupakannya untuk dibincangkan bersama. Mungkin efek mereka disibukkan oleh ujian kenaikan kelas. Mereka akhirnya menemukan saat yang tepat untuk membicaraknnya. Itu pun karena Putri iseng saja bertanya karena banyaknya waktu santai mereka, mengisi sisa jam pelajaran olah raga yang langsung menyambung dengan jam istirahat.
Ah ya, anehnya nasib Putri mulai mirip seperti Intan, sama-sama masih ditakdirkan menjadi teman sebangku Amel di kelas 2. Entah nanti kelas tiga, apakah mereka masih berjodoh menjadi teman sebangku atau tidak.
“Mudah-mudahan abis ini nemu rumah yang cocok, ya. Jadi enggak perlu pindah-pindah lagi.”
Amel tersenyum tipis. Baginya begitu baik harapan Putri, tapi entah kenapa ia ragu mengamini. Seperti ada rasa berat saja. Apa iya hal seperti itu bisa tercapai? Sepertinya kehidupan seperti sekarang akan masih berulang. Tak sadar Amel kini dijajah oleh rasa pesimis.
“Put! Mel! Pada ke kantin nggak?” sesaat setelah bel berbunyi, seorang teman bernama Wulan menghampiri.