Rumah yang Tak sempurna

Yulian Juli
Chapter #14

14. Cari Istri Baru Saja

Berbulan-bulan Desi menanti rumahnya laku terjual, namun tetap saja pembeli yang ia harapkan belum juga datang. Kali ini situasinya betul-betul berbeda dari sebelumnya, jauh dari harapan sekalipun doa Haji Zaelani sudah dipanjatkan dan sarannya sudah dilakukan.

Di sisi lain, dalam lamanya waktu yang Desi jalani untuk menunggu rumah laku, Desi kini kerap semakin mudah cekcok dengan Faisal.

Di mata Desi Faisal mulai tampak berbeda. Lebih banyak diam, kurang mendengarkan, dan sama sekali tak ada canda yang keluar seperti biasanya.

Sering setelah selesai bekerja di kantor Faisal jarang langsung pulang ke rumah. Alasannya ada saja. Seperti mampir ke rumah Hamdan, ke rumah teman, lembur, diajak makan bos. Pokoknya ada saja alasan Faisal. Kalau sudah hari libur juga sibuk di luar. Main Badminton, pergi mancing, kumpul-kumpul teman kantor. Membuat Desi mulai curiga bahwa Faisal telah sengaja mengambil jarak dengannya.

Suatu kali Desi protes atas waktu yang sedikit Faisal beri untuk keluarga. Sayangnya semua berakhir pada pertengkaran.

“Enggak usah bawel!” terasa sekali emosi Faisal sekarang mudah tersulut. “Ngedikte banget sih, jadi bini!”

Mendapati ketusnya Faisal, Desi putuskan untuk lebih berhati-hati bicara padanya. “Bukan mau ngedikte Papa. Mama enggak ada maksud kesitu. Mama cuma pingin Papa lebih banyak punya waktu buat Mama sama Amel. Udah lama kan, kita enggak jalan-jalan bertiga.”

“Jalan-jalan?! Emang punya duit?! Duit yang Papa kasih ke Mama pasti juga udah abis kan tanggal segini?!”

Desi diam tertunduk lesu, dalam hati membenarkan ucapan Faisal.

“Kenapa?! Mau nyuruh Papa ngutang, biar bisa jalan-jalan?!”

Kagetnya, Desi. Dahinya mengkerut dan kepalanya langsung menggeleng kuat. “Mama enggak ada kepikiran kesitu.”

“Bagus, lah. Kalo pun ada juga percuma. Enggak bakalan Papa turutin maunya Mama!”

“Pah! Papa ini kenapa sih?! Jadi galak gini sama Mama?!”

Faisal diam melengos muka, melangkah pergi meninggalkan Desi lalu mengambil tas berisi alat pancingnya.

“Apa Papa jangan-jangan punya perempuan lain?!” kejar Desi semakin liar pikiran.

Panas telinga Faisal mendengarnya. Hatinya betul-betul merasa dikoyak oleh Desi. Bisa-bisanya dia menuduh seperti itu. Melirik pria itu pada istrinya, sorotnya menghunus penuh amarah. “Seenaknya aja nuduh!” ketus Faisal lagi.

“Emang, iya! Papa udah berubah. Siapa sih perempuannya?! Siapa …?! Si Tika?!”

Faisal terbelalak. “Kelewatan!” bentaknya.

“Papa yang kelewatan! Mama tau, Papa udah banyak bohongnya sekarang. Lembur, lembur terus! Badminton, mancing, ada aja alasannya! Emang aja Papa udah berani selingkuhin Mama. Kalau mau pisah, ngomong!”

Pertengkaran suami istri itu semakin menjadi-jadi saja. Tanpa mereka sadar atau memang lebih sering tak sadar, ada perasaan lain yang tersiksa mendengarnya.

Buah hati mereka.

Amel.

Gadis itu berada di balik pintu kamarnya. Tampak meringkuk seperti kucing yang kedinginan dan tak punya rumah. Diam dan membisu menjadi satu-satunya yang ia peluk saat ini.

Amel tak tahu harus apa? Menjadi penengah mereka? Lagi-lagi ia merasa tak kuasa. Baginya pertengkaran orangtuanya belakangan ini terasa berbeda. Lebih sering dan lebih hebat. Seperti sama-sama ada kobaran api yang menguasai keduanya.

Amel bingung. Dibiarkan sangat memekakkan telinga, mau cuek tapi kepikiran. Anehnya pertengkaran kali ini juga berhasil membangkitkan rasa ketakutan lama Amel yang telah lama sirna, yakni rasa takut yang pernah dirasakannya sewaktu ia kecil, ketika ia melihat ayah dan ibunya bertengkar.

Lihat selengkapnya