Desi sekarat.
Bukan di fisiknya tapi di hatinya.
Sikap kasar Faisal masih berputar ulang di alam ingatannya. Pedih, itu yang Desi rasakan. Sepanjang malam hingga senja menyapa pun ia hanya meringkuk di atas kasur meratapi kepergian Faisal yang meninggalkannya tanpa belas kasih.
Faisal yang kini Desi lihat sudah sangat jauh berbeda. Sosok yang tak lagi meratukannya melainkan memeranginya. Mata kasih sayang yang lembut itu tak Desi temui lagi, telah sirna begitu saja entah kemana, dan yang ada hanyalah tatapan menyalang.
Desi bingung, kenapa Faisal bisa keras hati seperti itu? Tak paham sejak kapan jarak yang tercipta menumbuhkan bibit malapetaka? Apa ? Jadi apa sejatinya yang merubah Faisal? lama sudah berpikir sampai tangis di pipi mengering hingga membasah lagi Desi tetap masih belum menemukan jawaban.
"Apa sekarang Papa udah lelah membahagiakan Mama, Pa?" Desi menduga-duga lain, meski tak yakin juga karena selama ini yang ia lihat adalah keluasan hati Faisal yang luar biasa dalam berusaha membahagiakannya. Bagaikan seorang kakak yang memanjakan adik dengan begitu banyak permen. Ya, Desi melihat keberadaan hati yang luas itu. Tak sekalipun melupakannya apalagi berniat menyepelekannya.
“Mah, Amel berangkat.”
Suara itu membuat Desi buru-buru menghapus air mata paginya. Ia lantas memutar badan dari menghadap jendela, bangkit duduk menengok ke arah putri tunggalnya yang baru memasuki kamar.
Disaat itu Amel bisa melihat jelas ibunya kepayahan. Matanya sembab, dan hidung samar memerah seperti orang yang terkena flu. Sempat Amel melirik ke jendela yang gordennya belum dibuka. Itu bukan kebiasaan ibunya jam segini masih menyalakan lampu kamar dan tak membiarkan udara pagi masuk.
“Amel mau berangkat, ya. Sebentar, Mama ambil dom –“ “Enggak usah!” baru ingin beringsut turun dari kasur untuk memberi Amel uang saku, tindakan Desi sudah ditolak anaknya duluan. Aneh, Desi merasakan ada sikap dingin dari gadis remajanya itu. Namun cepat-cepat menghapus perasaannya yang ia anggap buruk dan menenangkannya dengan pikiran lebih positif bahwa mungkin itu hanya tebakannya saja.
"Kok enggak usah?"
“Amel masih punya duit,” lanjut Amel masih dengan kesan yang sama.
“Ditabung –“ “Enggak usah, Amel bilang enggak usah! Amel kesini cuma mau pamit. Kalo Amel enggak pamit nanti Mama nyariin, lagi!”
Amel bisa melihat wajah ibunya yang agak heran dengan ketusnya dia. Tak ingin memberi Desi peluang untuk bertanya tentang suasana hatinya, buru-buru Amel mencium tangan ibunya lalu pergi, berangkat ke sekolah dengan perasaan kesal yang ia sembunyikan.