Kalau berteriak semaunya tidak dianggap gila, sudah pasti Desi lakukan.
Berbeda dengan sang putri yang hatinya sedang berbunga-buang, Desi justru mendapatkan awan gelap di atas kepalanya. Bagaimana tidak, wanita itu sudah berusaha menemui suaminya di kantor, sepenuh hati membujuk bahkan merengek memintanya untuk pulang, tapi yang ia dapatkan hanyalah kemarahan yang luar biasa.
Berkali-kali Desi meminta, berkali-kali juga Faisal menolak. Kata-katanya masih sama, ia tak ingin mengikuti kemauan Desi lagi, dan tak ingin dianggap suami lagi oleh Desi. Banyak hal yang terpendam di hati Faisal selama ini pun keluar begitu saja dari mulutnya. Membuat Desi betul-betul terkejut bahwa ternyata itulah yang dirasakan Faisal, jauh dari kelapangan dan merasa sangat tertekan.
“Mulai sekarang lo haram buat gue!” bentakan terakhir Faisal menjadi yang paling menyakitkan untuk Desi. Pria itu tampak tak peduli ada beberapa orang-orang di luar kantor melihat dan mendengar bagaimana ia memperlakukan Desi. Padahal sebelumnya Faisal terlihat sangat menjaga privasi, mengajak Desi untuk bicara di tempat yang agak sepi, pelan pula suara, dengan alasan malu jika sampai di dengar orang dan menjadi omongan satu kantor. Namun entah bagaimana rupanya rengekan Desi telah menghabiskan kesabarannya, kemurkaan pria itu bangkit sehingga mengalahkan rasa malu yang ia jaga sampai-sampai tak terkendali bicara kasar begitu kepada istrinya.
Sungguh pertemuan yang begitu buruk dan menyakitkan. Desi kira selama ini Faisal meratukannya dengan hati yang lepas tanpa ada rasa keterpaksaan.
Bagaikan lilin, rupanya Faisal meneranginya dengan membakar diri sendiri. Lalu setelah ia habis terbakar, ia tak mampu untuk memulihkan dirinya lagi. Celaka! Ia sudah tak dapat berdiri kokoh dan menyalakan api, masanya memberi terang habis. Sang lilin kalah dari gelap dan kini ikut terselimuti gulita bersama orang yang pernah disinarinya.
Desi pulang dalam kondisi lemah berduka. Air mata menjadi teman yang menemani perjalanannya. Sering ia tak mampu menangis sembunyi-sembunyi dari orang-orang yang ia lewati atau duduk paling dekat dengannya di dalam kereta.
Walau raga menuju rumah, tapi pikiran Desi hanya tertuju pada Faisal, yang tak ia sangka berubah sebegitu jauhnya. Menjadi pribadi berbeda yang tidak lagi melihatnya dengan cinta melainkan kebencian.
Melihat sorot mata berapi Faisal, sungguh membuat Desi tak percaya diri untuk membujuknya lagi di lain waktu. Bagi Desi penolakan yang baru saja terjadi sudah sangat keras, dan seakan menjadi keputusan akhir Faisal atas pernikahan mereka. Bagaimana jika ia kembali dan meminta? Mungkin Faisal akan meludahinya.
Rintih batin Desi begitu sesak, sulit menerima keadaan. Wanita itu masih berharap apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi, sebentar lagi ia akan bangun. Akan tetapi rasa sakit di hati begitu nyata pedihnya, membuat Desi sadar bahwa luka ini bukanlah sebuah mimpi. Berpura-pura bahwa itu mimpi pun hanyalah sia-sia.
"Kamu cuma lagi emosi kan, Pah?" begitulah batin Desi. Meskipun kecil, namun harapan itu tetap hidup di sudut hati wanita itu, bahwa semoga saja ucapan Faisal tidak sungguh-sungguh. Ia hanya sedang tersulut api kemarahan.
***