“Amel, sehat kan di sana? Papa barusan udah transfer uangnya ya.”
Amel menghela nafas panjang. Seperti itulah kini komunikasinya dengan Faisal. Tak jauh-jauh soal uang.
“Mah …, Papa udah transfer uang bulanan!” begitulah teriak Amel pada ibunya yang berada di dapur.
Empat bulan lebih tak terasa berlalu begitu saja. Selama itu pula Amel tidak bertemu Faisal dan Faisal pun enggan sekali saja mengunjunginya di Bogor.
Kalau ingat bagaimana ayahnya pergi dari rumah untuk yang terakhir kali, ada penyesalan yang Amel rasakan. Andai saat itu ia mampu mencegah ayahnya pergi, punya cara untuk membuat ayahnya bertahan, mungkin hatinya tak akan sesepi ini. Kadang Amel bertanya sendiri, apakah dia terlalu percaya diri menghadapi pertengkaran kedua orang tuanya? Bersikap cuek seakan pengalaman lama akan terulang, dimana mereka ribut lalu pada akhirnya tetap kembali bersama. Ya, dulu ada pikiran Amel seperti itu. Namun rupanya kali ini tak ada pengulangan yang sama. Amel keliru terka, ayahnya belum juga kembali dan hanya membuatnya merindu saja.
“Yah! Melow lagi deh gue,” batin Amel. Tak ingin sebetulnya berlarut-larut lama dalam kesedihan jika sedang mengingat ayahnya.
“Tapi kok hari ini perasaan enggak enak banget, ya? Apa karna gue lagi haid?” kali ini Amel bergumam kecil. Entah kenapa ia merasa kondisi tubuhnya berbeda. Lesu iya, tak bersemangat iya, sewajarnya perempuan sedang berada di masa menstruasi. Cuma kali ini terasa lebih berat dari biasanya. Ada perbedaan besar yang tak biasa yang Amel rasakan. Bukan sakit – hanya berbeda saja.
“Kok gue jadi pingin nangis, sih?” tak butuh waktu lama, air mata yang tak Amel minta pun menetes, jatuh tanpa alasan yang jelas.
“Kamu tadi ngomong apa, Mel? Mama lagi di kamar mandi, nggak denger.” Desi muncul di ambang pintu kamar. Sungguh mengejutkan Amel sehingga membuatnya buru-buru menghapus air mata yang sudah menetes.
“Ehem, uang bulanan udah di tranfer Papa.” Amel melengos sambil mengucek-ngucek matanya seperti sedang kelilipan. Tubuhnya tetap santai bersandar di kepala tempat tidurnya. Sejak pulang sekolah gadis itu inginnya leha-leha saja. Untunglah Desi pengertian dan tidak memerintahkan Amel macam-macam untuk membantunya mengurus rumah.
“Oh, iya.” Hanya itu jawaban Desi. Setiap mendapat transferan uang dari Faisal, satu sisi ia merasa bersyukur kebutuhan sehari-hari masih terpenuhi, satu sisi ia merasa kekurangan dengan kondisi pernikahannya. Kenapa tidak sama dengan pasangan ya lain? Rezeki ada, keharmonisan pun ada.
“Mah? Sampai kapan kita kayak gini?” pertanyaan Amel seolah melengkapi perasaan kecewa di hati Desi. “Kapan Papa pulang, Ma?”
Desi diam, tatapannya mengedar seperti orang kebingungan, menjadi tanda bahwa ia pun tak tahu jawabannya. “Doain aja, ya.” Hanya itu jawaban yang ia bisa. Lalu berlalu, terlihat jelas sedang tak ingin membahas soal itu.
Apa mau dikata? Sikap Desi yang acuh tak acuh hanya bisa Amel telan saja. Mau berdebat pun apa yang ingin diperdebatkan? Meski perasaan Amel sebetulnya gemas, kenapa Desi tak mencoba lagi untuk meminta Faisal pulang?
“Apa enggak kamu aja yang minta Papa kamu pulang, Mel?” Amel mendapatkan saran itu, saat keesokan harinya ia curhat pada Kemal.